Penerbangan Sipil Indonesia
Bagian ke-2
Disusun oleh : Masyarakat Peduli Penerbangan Sipil (MPPS)
Undang-undang dan peraturan
Setelah menjadi negara anggota, Indonesia mengundangkan undang-undang tentang penerbangan yang pertama diterbitkan adalah UU No.83 Tahun 1958, berisi 28 pasal sebagai pengganti dari "Luchtvaart besluit 1932 (Staatsblad 1933 No. 118) dan "Luchtvaart ordonnantic 1934" (Staatsblad 1934 No. 205. Undang-undang No.83 diundangkan pada 31 Desember 1958.
Dengan berbagai pertimbangan yang antara lain, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan maka Indonesia menerbitkan Undang-undang No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan menggantikan undang-undang tahun 1958. Undang-undang No.15 Tahun 1992 berisi 76 pasal dan diundangkan pada 25 Mei 1992.
Selanjutnya dengan mempertimbangkan bahwa undang-undang No.15 Tahun 1992 tidak sesuai dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis serta kebutuhan penyelenggara penerbangan maka diterbitkan UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang terdiri dari 466 pasal yang di undangkan pada 12 Januari 2009.
Jika diperhatikan maka undang-undang tentang penerbangan di Indonesia yang pertama diundangkan pada zaman "orde lama", kemudian disesuaikan pada zaman "orde baru" dan yang terakhir pada era "reformasi".
Mengacu kepada undang-undang yang ada maka disusunlah aturan-aturan yang bersifat teknis penerbangan dalam peraturan pemerintah (PP) dan keputusan menteri (KM). Secara umum peraturan dan keputusan tersebut mengadopsi aturan-aturan yang dikeluarkan ICAO, baik sebagian ataupun seluruhnya.
Civil Aviation Safety Regulation (CASR) adalah peraturan keselamatan penerbangan sipil yang mengatur segala macam hal teknis mulai rancang bangun serta pengoperasian pesawat udara, bandar udara, navigasi penerbangan hingga lisensi petugas-petugas yang berkaitan langsung dengan keselamatan penerbangan serta tempat-tempat pendidikanya. Ada lebih dari 30 Bagian CASR yang telah diberlakukan termasuk petunjuk teknisnya (guidance).
Bersumber pada catatan yang dipublikasikan Kementerian Perhubungan maka beberapa CASR pertama diterbitkan adalah tahun 1960-an. Dengan terbitnya undang-undang penerbangan tahun 1992 jumah CASR bertmabah namun belum lengkap. Dengan berlakunya UU No.1 Tahun 2009 maka jumlah CASR makin bertambah seiring laporan USOAP.
Penulis ingin menggambarkan bahwa semenjak Indonesia menjadi anggota ICAO tahun 1950, maka CASR menjadi lengkap setelah 4 dekade kemudian. Tentu dapat menimbulkan pertanyaan apakah Indonesia serius dengan transportasi udara.
Hubungan Indonesia dengan ICAO
Indonesia pertama kali hadir pada sidang ICAO adalah pada tahun 1950 dalam Sidang Assembly ke-4 dimana delegasi Indonesia yang diketuai oleh Dr. T. Thayeb menyatakan keinginan Republik Indonesia Serikat (RIS ketika itu) bergabung organisasi penerbangan sipil sedunia itu dan tanggal 27 Mei 1950 resmi diterima menjadi negara anggota ke-58.
Semenjak menjadi negara anggota maka delegasi Indonesia selalu dapat menghadiri sidang-sidang ICAO seperti Assembly maupun pertemuan-pertemuan lain di Canada atau Thailand atau tempat lain.
Suatu kehormatan bagi Indonesia ketika pada tahun 1970 ICAO memilih Bapak Ir. Karno Barkah dipercaya menjadi Vice President of Assembly dan pada tahun 1971 menjadi Ketua Kelompok-kerja ICAO Condition of Services.
Dalam menjalankan kegiatannya ICAO membentuk Assembly (Mejelis) terdiri dari semua negara anggota yang memberikan tugas kepada Council (Dewan). Dewan memiliki Commission yang melakukan kegiatan teknis menjalankan policy dan mencapai sasaran yang ditetapkan sebelumnya oleh Assembly.
Council (Dewan) terdiri dari 33 negara dipilih dari semua negara anggota yang kemudian dijadikan dua “kelompok”. Kelompok Pertama adalah negara anggota yang sangat pentingnya dalam transportasi udara seperti Inggris, Amerika, Prancis dan Brazil.
Kelompok Kedua adalah negara-negara yang membuat kontribusi terbesar terhadap penyediaan fasilitas untuk navigasi penerbangan sipil internasional seperti Jepang, Iran, Swiss.
Sisa dari 33 negara yang ditetapkan menjadi anggota Council masuk kedalam kelompok yang dapat mewakili negara-negara dengan pertimbangan luas negara yang digolongkan besar.
Indonesia juga pernah menjadi anggota yang mewakili kelompok yang luas nya besar dari tahun 1962 hingga 1998 dan saat ini sedang berusaha kembali menjadi anggota council.
Memperhatikan Tata Tertib menjadi anggota Council (Dewan) yang demikian ketat dan penuh persaingan maka dibutuhkan kerja kerasdalam hal kesiapan system transportasi udara yang dapat memenuhi semua kriteria ICAO, tersedianya dana yang cukup dan kemampuan Indonesia untuk melakukan diplomasi dengan banyak pihak.
Barangkali Kementerian Perhubungan perlu menimba pengetahuan dari Singapore. Negeri “jiran yang demikian tajir” masuk menjadi anggota ICAO pada tahun 1966 dan setelah 46 tahun sudah demikian “mendunia” dan ICAO telah memasukan langsung kedalam Kelompok kedua pada Council.
Catatan Kecelakaan Pesawat Udara
Masih kita ingat beberapa peristiwa kecelakaan pesawat terbang, seperti peristiwa di Pegunungan Sibolangit Sumatra Utara, kecelakaan pesawat terbang jenis VC-8 di Tj.Karawang, MD-90 yang gagal mendarat di bandar udara Adi Sumarmo di Solo, kegagalan mendarat B737 di bandar udara Adi Sutjipto di Yogjakarta serta beberapa peristiwa kecelakaan lain di Papua.
Selain dari itu juga peristiwa kecelakaan/insident yang melibatkan pesawat udara negara lain di Indonesia, seperti B707 Pan American di Bali, B747 British Airways yang menghisap debu vulkanic serta yang terakhir adalah musibah Sukhoi SJ100 di Peg. Salak Jawa Barat.
Selain dari itu banyak juga tercatat peristiwa “near mid-air collision” yang terjadi diruang udara Indonesia.
Jumlah accident/incident yang dicatat oleh KNKT selama periode 1988 – 2003 sebanyak 375 kali sedangkan periode 2007 – 2011 sebanyak 105 accident/incident yang telah diselidiki [sumber KNKT]
Kebutuhan Prasarana
Pada tahun 2011 pertumbuhan jumlah penumpang telah mencapai 16,76% dengan komposisi jumlah penumpang domestik 51,55 juta dan international sebesar 10,8% [sumber IFT, 19 Mei 2011]
Selain daripada itu bandar udara baru juga telah dan terus dibangun dengan fasilitas keselamatan penerbangan yang lebih baik. Pemasangan fasilitas ILS dihapir semua landasan serta tambahan fasilitas surveillance telah meningkatkan kelancaran arus lalu lintas penerbangan.
Dengan pertumbuhan permintaan akan transportasi udara, harus diantisipasi dengan baik dengan “tidak selalu” membangun prasarana “fisik” perlu penyesuian aturan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pemberi layanan dalam semua aspek transportasi udara dan mengubah paradigma regulator sebagai “penguasa” menjadi sebagai “pengayom”.
Bagian akhir dari Bagian 2
Menutup bagian ke 2 ini ada beberapa catatan :
·
Indonesia menjadi anggota ICAO
pada tahun 1950 namun baru memiliki undang-undang delapan tahun kemudian dan
menjadi lebih lengkap setelah 59 tahun (dengan terbitnya UU N0.1 Thn 2009)
temasuk peraturan dan petunjuk teknis;
·
Walaupun telah menjadi anggota
ICAO, kelihatannya kesempatan hubungan dengan organisasi tersebut tidak terjaga
dengan baik dan “kemungkinan” kinerja Indonesia dihadapan negara anggota lain
dipertanyakan. Seharusnya ketika menjadi anggota Council selama beberapa
periode dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya;
·
Tingkat kecelakaan transporasi
udara masih tinggi dan lebih banyak diakibatkan oleh faktor manusia, misalnya
ketaatan pada peraturan keselamatan penerbangan;