PELAYANAN NAVIGASI PENERBANGAN DI INDONESIA PERLU MENDAPAT PERHATIAN KALANGAN PENERBANGAN
PENDAHULUAN
Pemerintah Indonesia pada tahun 1962 telah memulai melakukan korporitisasi pelayanan bandar udara dengan membentuk perusahaan negara Angkasa Pura "kemayoran" melalui PP Nomor 33 Tahun 1962 yang selanjutnya berkembang menjadi PT. Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II.
Tahun 1978: Sentra Operasi Keselamatan Penerbangan (SENOPEN
Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 50/OT/Phb-78, tentang "Susunan organisasi dan tata kerja pelabuhan udara dan Sentra Operasi Keselamatan Penerbangan (SENOPEN)", terbentuk kantor SENOPEN di 7 lokasi yaitu MEDAN, PEKANBARU, PALEMBANG, SURABAYA, BALI, UJUNG PANDANG dan BIAK". Fungsi unit kerja kantor SENOPEN adalah pemberian pelayanan navigasi penerbangan. Masing-masing SENOPEN bertanggungjawab memberikan pelayanan navigasi penerbangan pada ruang udara yang telah ditetapkan.
Sesuai dengan berkembangnya pengelolaan pelayanan bandar udara serta demi effisiensi organisasi SENOPEN maka mulai tahun 1989 satu demi satu SENOPEN, melalui Peraturan Pemerintah (PP), dialihkan kekayaan dan tanggungjawab pengelolaanya kepada PT Angkasa Pura I (FIR Ujung Pandang) dan PT Angkasa Pura II (FIR Jakarta) dan semenjak itu kedua persero itu selain memberikan pelayanan jasa bandar udara juga memberikan jasa navigasi penerbangan.
Demikianlah pada awal tahun 2008 Kementerian Perhubungan mulai merasa perlu untuk memisahkan kekayaan dan fungsi pelayanan navigasi penerbangan dari PT (Persero) Angkasa Pura I dan PT (Persero) Angkasa Pura II serta Unit Pelaksana Teknis Bandar Udara Kementerian Perhubungan kepada suatu entitas baru yang mandiri sehungga dapat lebih fokus serta meningkatkan keselamatan penerbangan.
Melalui Peraturan Pemerintah No.77 Tahun 2012 ditetapkan badan hukum baru dalam bentuk Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggaran Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia.
Perusahaan Umum LPPNPI
Maksud dari tulisan ini adalah untuk meninjau apakah PP No.77 Tahun 2012 telah sesuai dengan maksud serta tujuan dibentuknya PPNPI (istilah ini selanjutnya digunakan) dan apa tantangan yang dihadapi.
Lebih rinci mengapa Kementerian Perhubungan sangat berkeinginan memisahkan fungsi dan tanggungjawab pelayanan navigasi penerbangan, khususnya, dari PT (Persero) Angkasa Pura I dan PT (Persero) Angkasa Pura II dan membentuk PPNPI antara lain:- Standarisasi pelayanan navigasi penerbangan;
- Peralatan/fasilitas/system yang digunakan tidak sama;
- PT. AP I dan PT. AP II adalah perusahaan berbentuk perseroan terbatas yang mencari untung (finansial);
- Menyatukan tiga (paling tidak) institusi pelayanan navigasi penerbangan.
Indonesia menjadi negara anggota ICAO pada tahun 1950 melalui pernyataan menundukan-diri dan semenjak itu aktif mengikuti sidang-sidang.
Delapan tahun kemudian yaitu tahun 1958, pertama kali Indonesia memiliki undang-undang penerbangan UU No.83 Tahun 1958, berisi 28 pasal sebagai pengganti dari "Luchtvaart besluit 1932 (Staatsblad 1933 No. 118) dan "Luchtvaart ordonnantie 1934" (Staatsblad 1934 No. 205. Undang-undang No.83 diundangkan pada 31 Desember 1958.
UU No.83 Tahun 1958 kemudian disesuaikan (diperbaharui) oleh UU No.15 Tahun 1992 dan dilengkapi dengan peraturan menteri tentang keselamatan penerbangan yang dikenal dengan Civil Aviation Safety Regulation (CASR). Sampai tahun 1992 CASR hanya mengatur keselamatan penerbangan terkait dengan keselamatan pesawat udara.
Sebenarnya dalam dunia penerbangan sipil tidak hanya pesawat udara, tetapi juga ada bandar udara serta pelayanan navigasi penerbangan dan lainnya.
Bandar udara Kemayoran diresmikan pada tanggal 8 Juli 1940 dan dioperasikan oleh Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappy (KNILM). Tentu pada masa itu kita tidak terlalu memperhatikan keselamatan penerbangan untuk bandar udara, jadi belum ada CASR.
Pada tahun 1984 bandar udara Kemayoran di tutup dan digantikan oleh bandar udara internasional Jakarta Cengkareng (kemudian menjadi Soekarno-Hatta). Dengan dioperasikannya bandar udara baru maka dimulailah pembagian pengelolaan bandar udara di Indonesia, PT Angkasa Pura I mengelola bandar udara dikawasan Indonesia Timur dan bandar udara dikawasan barat dikelola oleh PT Angkasa Pura II. Tentu saja sebagai persero kedua BUMN tersebut menjalankan kebijakan operasional sesuai dengan kebutuhannya sendiri-sendiri.
Sebelum itu tahun 1978 Kementerian Perhubungan mendirikan Sentra Operasi Penerbangan (SENOPEN) di 7 lokasi bandar udara untuk mengelola pelayanan navigasi penerbangan. Selanjutnya dengan dibentuknya PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II semua SENOPEN melalui Peraturan Pemerintah di amalgamasikan kedalam kedua perusahaan sesuai dengan lokasinya.
Karena telah menjadi bagian dari perusahaan berbentuk persero tersebut maka hingga tahun 2009 fungsi dan pelayanan navigasi penerbangan tentu saja mengikuti kebijakan operasional kedua persero tersebut. Hal itulah yang yang mengakibatkan seolah telah tidak ada standarisasi dalam pelayanan navigasi penerbangan.
2. Peralatan/fasilitas/system yang digunakan tidak sama
Dalam pengadaan peralatan/fasilitas/system yang digunakan dalam pelayanan navigasi penerbangan di Indonesia bersumber dari anggaran APBN atau anggaran masing-masing perseroan.
Anggaran dari APBN karena Kementerian Perhubungan bertanggung jawab mengadakan peralatan/fasilitas/system navigasi penerbangan. Namun karena kedua persero yang ada juga sesuai aturan yang ada bertanggung jawab atas pelayanan navigasi penerbangan maka membangun sendiri peralatan/fasilitas/system navigasi penerbangan, misalnya subsystem surveillance.
Perbedaan subsystem surveillance, terutama merk, pernah dianggap menghambat pelayanan navigasi penerbangan di masing-masing FIR yang karena tidak memungkinkan terlaksananya pertukaran data. Hal itu tidak sepenuhnya benar.3. PT. AP I dan PT. AP II adalah perusahaan berbentuk perseroan terbatas yang mencari untung (finansial).
Pengelola pelayanan bandar udara PT(Persero) Angkasa Pura I dan PT(Persero) Angkasa Pura II dibentuk berdasarkan UU.19 Tahun 2003 Tentang BUMN, sudah disebutkan salah satunya mendapatkan keuntungan finansial. Karena pelayanan navigasi penerbangan telah menjadi bagian dari kedua persero tersebut tentu saja sepertinya mencari keuntungan, walaupun tidak sepenuhnya benar karena tarif pelayanan ditetapkan oleh pemerintah.
Hal lain yang menjadi issues adalah adanya maksud kedua persero tersebut melakukan "privatisasi" menjadi perusahaan terbuka dan kuatir pelayanan navigasi "ikut" menjadi "terprivatisasi".
Mungkin yang ada dalam pemahaman banyak orang bahwa dengan privatisasi maka Pemerintah tidak lagi memiliki pengawasan atas pelayanan navigasi penerbangan.
4. Menyatukan institusi pelayanan navigasi penerbangan
PT (Persero) Angkasa Pura I dan PT (Persero) Angkasa Pura II telah diberi kepercayaan oleh Kementerian Perhubungan melakukan pelayanan navigasi penerbangan di FIR Jakarta dan Ujung Pandang sesuai PP yang diterbitkan untuk itu. Namun pada sisi lain ada Ditjenhubud (melalui UPT Bandar Udara) serta Otorita Batam dan Pengelola bandar udara Timika juga memberikan pelayanan navigasi penerbangan. Maka dengan demikian ada lima (5) badan hukum yang memberikan pelayanan navigasi penerbangan.
Pembentukan PPNPI semangatnya adalah menyatukan pelayanan navigasi penerbangan mulai dari aerodrome hingga enroute menjadi satu badan hukum saja.
Semua alasan penyatuan pelayanan navigasi penerbangan itu dituangkan melalui UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan selanjutnya secara lebih rinci dituangkan melalui PP 77 Tahun 2012 Tentang Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia.TANTANGAN UNTUK PPNPI
PP No.77 Tahun 2012 Tentang PPNPI adalah dasar hukum bentuk, fungsi dan tugas memberikan pelayanan navigasi penerbangan yang apabila pelajari dengan lebih teliti masih perlu diperbaiki.
Bentuk badan hukum
Dalam menentukan bentuk badan hukum telah menyita waktu yang cukup lama dan dalam UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Pasal 271 yang dalam operasionalnya lebih mementingkan kualitas pelayaan dari pada mencari keuntungan (finansisal).
Dalam surat yang ditujukan kepada Menteri Keuangan ada tiga hal yang diingikan oleh Menteri Perhubungan yaitu
- Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia berbentuk Perum Khusus;
- Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia berprinsip tidak berorientasi terhadap keuntungan dan cost recovery sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang No.1 tahun 2009 tentang penerbangan;
- Kementerian Perhubungan bertindak sebagai leading sector dalam pengelolaan Perum Khusus Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan dengan koordinasi dengan Kementerian BUMN.
Istilah tidak mencari keuntungan atau "cost recovery" dalam UU tentang BUMN tidak ada, semua BUMN , termasuk Perum sekali pun" diarahkan mencari keuntungan finasial
Tidaklah terlau jelas mengapa Kementerian Perhubungan menginginkan PPNPI suatu Perum yang tidak mencari keuntungan, apakah Kementerian Perhubungan sangat kuatir tidak dapat mengawasi dan ikut serta dalam kegiatan PPNPI.
Yang perlu disadari bahwa Kementerian Perhubungan harus mengawasi PPNPI dalam hal penerapan semua peraturan keselamatan penerbangan yang ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan. Keuntungan finansial dalam bentuk "uang" dari hasil kinerja PPNPI sepenuhnya diawasi oleh Kementerian BUMN. Walaupun jika PPNPI mendapat keuntungan dalam bentuk "uang" namun tidak dapat memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan maka Kementerian Perhubungan dapat melakukan teguran hingga pencabutan ijin operasi.
Pemahaman sebagai "leading sector" dapat menjadi banyak arti apabila tidak dituliskan secara jelas dan diterima secara legal. Karena tidak tersedianya definisi "leading sector" maka tulisan ini sementara hanya menduga bahwa Kementerian Perhubungan akan "menjalankan" roda organisasi PPNPI sepenuhnya, mulai dari penetapan dewan direksi / dewan pengawas hingga penetapan strukutur organisasi dan rencana anggaran belanja serta pengelolaan aset.
PPNPI adalah BUMN yang kegiatannya mengacu dan diatur melalui UU no 19 tahun 2003 tantang BUMN, sama seperti BUMN transportasi lainnya seperti PT Garuda Indonesia, PT Merpati Nusantara, PT Angkasa Pura I maupun lainnya, merupakan badan hukum yang mandiri dalam segala aspek berkaitan dengan bidang usahanya namun tetap wajib tunduk pada semua perundang-undangan dan peraturan yang berlaku, tidak hanya undang-undang No.1 tahun 2009 tentang penerbangan.
Dengan penjelasan diatas maka "leading sector" sebaiknya diartikan sebagai institusi pemerintah yang berfungsi sebagai regulator dengan tugas memberikan arahan, menerbitkan aturan keselamatan penerbangan, melakukan pengawasan serta men-sinergi-kan dengan sektor-sektor lain sehingga memberikan manfaat bagi sebanyak-banyaknya kepentingan.
Menjadi jelas bahwa Kementerian Perhubungan yang dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara ingin tetap menjalankan fungsi PPNPI tetap menjadi tugasnya namun dalam bentuk BUMN. Sayang hal itu tidak dimungkin oleh perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.
Demikianlah PPNPI merupakan badan hukum Perum yang sebaiknya tetap sesuai dengan undang-undang No.19 Tahun 2003 sehingga menjadi lebih mandiri dalam semua aspek kegiatan dan tetap diawasi oleh undang-undang dan peraturan lainnya.
PERATURAN PEMERINTAH YANG PERLU DIPERBAIKI
Perum LPPNPI didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.77 Tahun 2012 dengan maksud dan tujuannya melaksanakan penyediaan jasa pelayanan navigasi penerbangan sesuai dengan standar yang berlaku untuk mencapai efisiensi dan efektivitas penerbangan dalam lingkup nasional dan internasional (pasal 13 ayat 1).
Dari penjelasan-penjelasan diatas timbul pertanyaan apakah isi PP No.77 Tahun 2012 telah cukup dan benar sesuai dengan kebutuhan pelayanan navigasi penerbangan. Apakah cukup bermodalkan peraturan pemerintah tersebut maka Perum PPNPI telah layak memberikan pelayanan, jawabannya adalah BELUM.
Berikut ini catatan yang perlu diperhatikan untuk memperbaiki PP No.77 Tahun 2012.
Penulisan pasal sebaiknya urut dimulai dari pengertian umum lalu dilanjutkan dengan maksud dan tujuan dibentuknya Perum PPNPI dan seterusnya. Pasal 1 tentang pengertian tidak terlalu banyak menerangkan perihal pelayanan navigasi penerbangan. Hanya angka 1 yang berkaitan denganb pelayanan navigasi penerbangan. Sepertinya pasal 1 hanya menyalin isi UU No.19 Tahun 2003 Tentang BUMN dan yang PP terkait dengan UU itu. Pada pasal 1 alangkah baiknya di berikan pengertian-pengertian Flight Information Region (FIR), Civil Aviation Safety Regulation (CASR), Advisory Circular (AC) yang akan selalu berkaitan dengan dibentuknya badan hukum ini.
Dalam sebuah bentuk organisasi sebaiknya yang pertama kali diketahui adalah maksud dan tujuan dibentukya organisasi diikuti dengan wilayah kerjanya sehingga memudahkan bagi siapapun untuk mengetahui tujuan dari sebuah organisasi. Namun PP No.77 Tahun 2012 pasal terkait dengan maksud dan tujuan berada pada pasal 13.
Pelayanan navigasi penerbangan selalu berkaitan erat dengan ruang udara dimana pelayanan itu akan diberikan, maka menjadi penting PP No.77 Tahun 2012 harus menetapkan ruang udara yang menjadi tanggung jawab PPNPI.
Indonesia telah menjadi anggota International Civil Aviation Organization (ICAO) sejak tahun 1950 dan telah diberi kepercayaan memberi pelayanan navigasi penerbangan diruang udara Flight Information Region (FIR) Jakarta dan FIR Ujung Pandang, suatu ruang udara yang luas. Pada sekitar tahun 1980-an ruang udara tersebut telah dilimpahkan pelayanannya kepada Perum (ketika itu) Angkasa Pura I dan Perum Angkasa Pura II melalui Peraturan Pemerintah. Dan oleh karena itu perlu diterbitkan peraturan pemerintah yang menyatakan mengakhiri penyerahan sebelumnya dan menyerahkan kepada LPPNPI.
Selain itu masih ada peraturan pemerintah yang terkait dengan pelayanan navigasi penerbangan yang perlu diperbaharui dimana LPPNPI akan menjadi badan hukum yang berwenang.
Dalam dunia penerbangan sipil kepada siapa saja yang bermaksud menyelenggarakan pelayanan dan pendidikan diwajibkan untuk memiliki sertifikat operasi yang diatur dan diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara/Kementerian Perhubungan. LPPNPI sebagai "operator" wajib memperoleh sertifikat operasi sesuai aturan Menteri Perhubungan No.11 Tahun 2009 sebelum memulai operasi pelayanan navigasi penerbangan. Peraturan ini mensyaratkan beberapa hal sebelum LPPNPI memulai memberikan pelayanan dan yang lebih penting bahwa sertifikat operasi tidak boleh berasal dari suatu proses transfer dari badan hukum yang telah pernah memberikan pelayanan navigasi penerbangan.
Pembentukan LPPNPI berdasarkan PP No.77 Tahun 2012 adalah upaya menyatukan beberapa "ATS provider" yang ada sebelumnya dan mudah-mudahan akan menjadi satu-satunya penyelenggaran pelayanan navigasi penerbangan di Indonesia. Agar LPPNPI dalam menjalankan pelayanannya tetap patuh dengan semua undang-undang serta peraturan yang ada maka diperlukan Dewan Pengawas yang diatur antara lain melalui beberapa pasal seperti pasal 47. Seperti disebutkan pada pasal 1 angka 8 bahwa dewan pengawasa adalah organ perusahaan. Dewan pengawas diangkat oleh Menteri BUMN dan mendapat honorarium selama menjalankan tugasnya.
Dengan membaca pasal 48 ayat (1) kita menjumpai suatu yang mungkin janggal bahwa Ketua Dewan pengawas adalah Direktur Jenderal Perhubungan Udara, sebuah jabatan strukutral pada Kementerian Perhubungan, dapat diartikan jabatan struktural dilingkungan Kementerian Perhubungan diangkat oleh Kementerian BUMN. Pengangkatan PNS dalam organisasi seperti BUMN hanya dapat dilakukan melalui Keputusan Presiden dan mudah-mudahan Kepres untuk itu telah ada.
Dengan pengangkatan Direktur Jenderal Perhubugan udara maka dari segi hubungan regulator dengan operator yang semula telah dipisahkan keduanya ternyata pada sisi lain operator dan regulator tetap kembali menjadi satu.
Sebaiknya Direktur Jenderal Perhubungan Udara sebagai pimpinan tertinggi dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara yang salah satu fungsinya adalah melakukan "safety oversight" dan "compliance audit" sebagai kensekuensi dari menerbitkan sertifikat operasi, tidak menjadi bagian menjadi bahagian dari sebuah BUMN, dikuatirkan terjadi "personal hazard". (Pasal 55 ayat (1) huruf b).
Masih banyak yang perlu diperbaiki dalam PP Mo.77 Tahun 2012 agar pendirian serta pengoperasian pelayanan navigasi penerbangan oleh Perum LPPNPI menjadi "legitimate" yang memberikan mafaat bagi penggunan transaportasi udara.
PENUTUP DAN SARAN
Pada bagian akhir ini penulis ingin meenyampaikan bahwa informasi yang disampaikan diatas merupakan wujud koreksi yang ditujukan kepada Pemerintah terutama Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan yang telah melahirkan PP 77 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Perum LPPNPI.
Sesuatu yang harus segera dilakukan kepada Perum LPPNPI menyiapkan diri untuk dilakukan audit sebagai Operator seperti yang diwajibkan oleh perturan yang ada. Pemerintah disarankan misalnya bekerjasama dengan ICAO Regional Asia Pacific untuk memulai kegiatan audit.
Pemerintah perlu segera membatalkan PP tentang pendelegasian pengelolaan FIR Jakarta dan FIR Ujung Pandang yang selama ini diberikan kepada PT (Persero) Angkasa Pura I dan PT (Persero) Angkasa Pura II diperbaharui dengan PP pendelagasian pengelolaan FIR kepada Perum LPPNPI.
Disamping kegiatan audit kiranya akan menjadi lebih baik bagi Pemerintah membahas ulang serta memperbaiki PP 77 Tahun 2012 dengan melibatkan banyak pakar secara terbuka, terutama pelayanan navigasi penerbangan.
Terakhir kiranya perlu diingatkan bahwa dalam rangka implementasi Asean Economic Community dan selaras dengan program ICAO tentang harmonisasi pelayanan navigasi penerbangan dunia penguatan secara legitimasi dan pelayanan Perum LPPNPI sangatlah diperlukan. (NM)