Sabtu, 30 Maret 2013






PELAYANAN NAVIGASI PENERBANGAN DI INDONESIA PERLU MENDAPAT PERHATIAN KALANGAN PENERBANGAN
 

PENDAHULUAN

Pemerintah Indonesia pada tahun 1962 telah memulai melakukan korporitisasi pelayanan bandar udara dengan membentuk perusahaan negara Angkasa Pura "kemayoran" melalui PP Nomor 33 Tahun 1962 yang selanjutnya berkembang menjadi PT. Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II.

Tahun 1978: Sentra Operasi Keselamatan Penerbangan (SENOPEN
Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 50/OT/Phb-78, tentang "Susunan organisasi dan tata kerja pelabuhan udara dan Sentra Operasi Keselamatan Penerbangan (SENOPEN)", terbentuk kantor SENOPEN di 7 lokasi yaitu MEDAN, PEKANBARU, PALEMBANG, SURABAYA, BALI, UJUNG PANDANG dan BIAK". Fungsi unit kerja kantor SENOPEN adalah pemberian pelayanan navigasi penerbangan. Masing-masing SENOPEN bertanggungjawab memberikan pelayanan navigasi penerbangan pada ruang udara yang telah ditetapkan.
 
Sesuai dengan berkembangnya pengelolaan pelayanan bandar udara serta demi effisiensi organisasi SENOPEN maka mulai tahun 1989 satu demi satu SENOPEN, melalui Peraturan Pemerintah (PP), dialihkan kekayaan dan tanggungjawab pengelolaanya kepada PT Angkasa Pura I (FIR Ujung Pandang) dan PT Angkasa Pura II (FIR Jakarta) dan semenjak itu kedua persero itu selain memberikan pelayanan jasa bandar udara juga memberikan jasa navigasi penerbangan.
 
Demikianlah pada awal tahun 2008 Kementerian Perhubungan mulai merasa perlu untuk memisahkan kekayaan dan fungsi pelayanan navigasi penerbangan dari PT (Persero) Angkasa Pura I dan PT (Persero) Angkasa Pura II serta Unit Pelaksana Teknis Bandar Udara Kementerian Perhubungan kepada suatu entitas baru yang mandiri sehungga dapat lebih fokus serta meningkatkan keselamatan penerbangan.
 
Melalui Peraturan Pemerintah No.77 Tahun 2012 ditetapkan badan hukum baru dalam bentuk Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggaran Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia.
 
Perusahaan Umum LPPNPI

Maksud dari tulisan ini adalah untuk meninjau apakah PP No.77 Tahun 2012 telah sesuai dengan maksud serta tujuan dibentuknya PPNPI (istilah ini selanjutnya digunakan) dan apa tantangan yang dihadapi.
Lebih rinci mengapa Kementerian Perhubungan sangat berkeinginan memisahkan fungsi dan tanggungjawab pelayanan navigasi penerbangan, khususnya, dari PT (Persero) Angkasa Pura I dan PT (Persero) Angkasa Pura II dan membentuk PPNPI antara lain:
  1. Standarisasi pelayanan navigasi penerbangan;
  2. Peralatan/fasilitas/system yang digunakan tidak sama;
  3. PT. AP I dan PT. AP II adalah perusahaan berbentuk perseroan terbatas yang mencari untung (finansial);
  4. Menyatukan tiga (paling tidak) institusi pelayanan navigasi penerbangan.
1. Standarisasi pelayanan navigasi penerbangan

Indonesia menjadi negara anggota ICAO pada tahun 1950 melalui pernyataan menundukan-diri dan semenjak itu aktif mengikuti sidang-sidang.

Delapan tahun kemudian yaitu tahun 1958, pertama kali Indonesia memiliki undang-undang penerbangan UU No.83 Tahun 1958, berisi 28 pasal sebagai pengganti dari "Luchtvaart besluit 1932 (Staatsblad 1933 No. 118) dan "Luchtvaart ordonnantie 1934" (Staatsblad 1934 No. 205. Undang-undang No.83 diundangkan pada 31 Desember 1958.
 
UU No.83 Tahun 1958 kemudian disesuaikan (diperbaharui) oleh UU No.15 Tahun 1992 dan dilengkapi dengan peraturan menteri tentang keselamatan penerbangan yang dikenal dengan Civil Aviation Safety Regulation (CASR). Sampai tahun 1992 CASR hanya mengatur keselamatan penerbangan terkait dengan keselamatan pesawat udara.
Sebenarnya dalam dunia penerbangan sipil tidak hanya pesawat udara, tetapi juga ada bandar udara serta pelayanan navigasi penerbangan dan lainnya.
Bandar udara Kemayoran diresmikan pada tanggal 8 Juli 1940 dan dioperasikan oleh Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappy (KNILM). Tentu pada masa itu kita tidak terlalu memperhatikan keselamatan penerbangan untuk bandar udara, jadi belum ada CASR.
 
Pada tahun 1984 bandar udara Kemayoran di tutup dan digantikan oleh bandar udara internasional Jakarta Cengkareng (kemudian menjadi Soekarno-Hatta). Dengan dioperasikannya bandar udara baru maka dimulailah pembagian pengelolaan bandar udara di Indonesia, PT Angkasa Pura I mengelola bandar udara dikawasan Indonesia Timur dan bandar udara dikawasan barat dikelola oleh PT Angkasa Pura II. Tentu saja sebagai persero kedua BUMN tersebut menjalankan kebijakan operasional sesuai dengan kebutuhannya sendiri-sendiri.
 
Sebelum itu tahun 1978 Kementerian Perhubungan mendirikan Sentra Operasi Penerbangan (SENOPEN) di 7 lokasi bandar udara untuk mengelola pelayanan navigasi penerbangan. Selanjutnya dengan dibentuknya PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II semua SENOPEN melalui Peraturan Pemerintah di amalgamasikan kedalam kedua perusahaan sesuai dengan lokasinya.
 
Karena telah menjadi bagian dari perusahaan berbentuk persero tersebut maka hingga tahun 2009 fungsi dan pelayanan navigasi penerbangan tentu saja mengikuti kebijakan operasional kedua persero tersebut.

Hal itulah yang yang mengakibatkan seolah telah tidak ada standarisasi dalam pelayanan navigasi penerbangan.

 

2. Peralatan/fasilitas/system yang digunakan tidak sama
Dalam pengadaan peralatan/fasilitas/system yang digunakan dalam pelayanan navigasi penerbangan di Indonesia bersumber dari anggaran APBN atau anggaran masing-masing perseroan.
 
Anggaran dari APBN karena Kementerian Perhubungan bertanggung jawab mengadakan peralatan/fasilitas/system navigasi penerbangan. Namun karena kedua persero yang ada juga sesuai aturan yang ada bertanggung jawab atas pelayanan navigasi penerbangan maka membangun sendiri peralatan/fasilitas/system navigasi penerbangan, misalnya subsystem surveillance.
 
Perbedaan subsystem surveillance, terutama merk, pernah dianggap menghambat pelayanan navigasi penerbangan di masing-masing FIR yang karena tidak memungkinkan terlaksananya pertukaran data. Hal itu tidak sepenuhnya benar.


3. PT. AP I dan PT. AP II adalah perusahaan berbentuk perseroan terbatas yang mencari untung (finansial).
Pengelola pelayanan bandar udara PT(Persero) Angkasa Pura I dan PT(Persero) Angkasa Pura II dibentuk berdasarkan UU.19 Tahun 2003 Tentang BUMN, sudah disebutkan salah satunya mendapatkan keuntungan finansial. Karena pelayanan navigasi penerbangan telah menjadi bagian dari kedua persero tersebut tentu saja sepertinya mencari keuntungan, walaupun tidak sepenuhnya benar karena tarif pelayanan ditetapkan oleh pemerintah.
 
Hal lain yang menjadi issues adalah adanya maksud kedua persero tersebut melakukan "privatisasi" menjadi perusahaan terbuka dan kuatir pelayanan navigasi "ikut" menjadi "terprivatisasi".
 
Mungkin yang ada dalam pemahaman banyak orang bahwa dengan privatisasi maka Pemerintah tidak lagi memiliki pengawasan atas pelayanan navigasi penerbangan.
 

4. Menyatukan institusi pelayanan navigasi penerbangan
PT (Persero) Angkasa Pura I dan PT (Persero) Angkasa Pura II telah diberi kepercayaan oleh Kementerian Perhubungan melakukan pelayanan navigasi penerbangan di FIR Jakarta dan Ujung Pandang sesuai PP yang diterbitkan untuk itu. Namun pada sisi lain ada Ditjenhubud (melalui UPT Bandar Udara) serta Otorita Batam dan Pengelola bandar udara Timika juga memberikan pelayanan navigasi penerbangan. Maka dengan demikian ada lima (5) badan hukum yang memberikan pelayanan navigasi penerbangan.
 
Pembentukan PPNPI semangatnya adalah menyatukan pelayanan navigasi penerbangan mulai dari aerodrome hingga enroute menjadi satu badan hukum saja.
 
Semua alasan penyatuan pelayanan navigasi penerbangan itu dituangkan melalui UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan selanjutnya secara lebih rinci dituangkan melalui PP 77 Tahun 2012 Tentang Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia.


TANTANGAN UNTUK PPNPI

PP No.77 Tahun 2012 Tentang PPNPI adalah dasar hukum bentuk, fungsi dan tugas memberikan pelayanan navigasi penerbangan yang apabila pelajari dengan lebih teliti masih perlu diperbaiki.


Bentuk badan hukum

Dalam menentukan bentuk badan hukum telah menyita waktu yang cukup lama dan dalam UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Pasal 271 yang dalam operasionalnya lebih mementingkan kualitas pelayaan dari pada mencari keuntungan (finansisal).
Dalam surat yang ditujukan kepada Menteri Keuangan ada tiga hal yang diingikan oleh Menteri Perhubungan yaitu
  1. Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia berbentuk Perum Khusus;
  2. Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia berprinsip tidak berorientasi terhadap keuntungan dan cost recovery sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang No.1 tahun 2009 tentang penerbangan;
  3. Kementerian Perhubungan bertindak sebagai leading sector dalam pengelolaan Perum Khusus Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan dengan koordinasi dengan Kementerian BUMN.
Tiga keinginan Kementerian Perhubungan dalam hal ini pembentukan Perum Khusus memperlihatkan hal kurang selaras dengan kebiasaan/kecenderungan negara anggota ICAO yaitu memisahkan fungsi regulator dan operator. Selain itu dalam undang-undang tentang BUMN tidak dikenal bentuk Perum Khusus.

Istilah tidak mencari keuntungan atau "cost recovery" dalam UU tentang BUMN tidak ada, semua BUMN , termasuk Perum sekali pun" diarahkan mencari keuntungan finasial
Tidaklah terlau jelas mengapa Kementerian Perhubungan menginginkan PPNPI suatu Perum yang tidak mencari keuntungan, apakah Kementerian Perhubungan sangat kuatir tidak dapat mengawasi dan ikut serta dalam kegiatan PPNPI.

Yang perlu disadari bahwa Kementerian Perhubungan harus mengawasi PPNPI dalam hal penerapan semua peraturan keselamatan penerbangan yang ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan. Keuntungan finansial dalam bentuk "uang" dari hasil kinerja PPNPI sepenuhnya diawasi oleh Kementerian BUMN. Walaupun jika PPNPI mendapat keuntungan dalam bentuk "uang" namun tidak dapat memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan maka Kementerian Perhubungan dapat melakukan teguran hingga pencabutan ijin operasi.

Pemahaman sebagai "leading sector" dapat menjadi banyak arti apabila tidak dituliskan secara jelas dan diterima secara legal. Karena tidak tersedianya definisi "leading sector" maka tulisan ini sementara hanya menduga bahwa Kementerian Perhubungan akan "menjalankan" roda organisasi PPNPI sepenuhnya, mulai dari penetapan dewan direksi / dewan pengawas hingga penetapan strukutur organisasi dan rencana anggaran belanja serta pengelolaan aset.

PPNPI adalah BUMN yang kegiatannya mengacu dan diatur melalui UU no 19 tahun 2003 tantang BUMN, sama seperti BUMN transportasi lainnya seperti PT Garuda Indonesia, PT Merpati Nusantara, PT Angkasa Pura I maupun lainnya, merupakan badan hukum yang mandiri dalam segala aspek berkaitan dengan bidang usahanya namun tetap wajib tunduk pada semua perundang-undangan dan peraturan yang berlaku, tidak hanya undang-undang No.1 tahun 2009 tentang penerbangan.

Dengan penjelasan diatas maka "leading sector" sebaiknya diartikan sebagai institusi pemerintah yang berfungsi sebagai regulator dengan tugas memberikan arahan, menerbitkan aturan keselamatan penerbangan, melakukan pengawasan serta men-sinergi-kan dengan sektor-sektor lain sehingga memberikan manfaat bagi sebanyak-banyaknya kepentingan.

Menjadi jelas bahwa Kementerian Perhubungan yang dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara ingin tetap menjalankan fungsi PPNPI tetap menjadi tugasnya namun dalam bentuk BUMN. Sayang hal itu tidak dimungkin oleh perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.

Demikianlah PPNPI merupakan badan hukum Perum yang sebaiknya tetap sesuai dengan undang-undang No.19 Tahun 2003 sehingga menjadi lebih mandiri dalam semua aspek kegiatan dan tetap diawasi oleh undang-undang dan peraturan lainnya.


PERATURAN PEMERINTAH YANG PERLU DIPERBAIKI


Perum LPPNPI didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.77 Tahun 2012 dengan maksud dan tujuannya melaksanakan penyediaan jasa pelayanan navigasi penerbangan sesuai dengan standar yang berlaku untuk mencapai efisiensi dan efektivitas penerbangan dalam lingkup nasional dan internasional (pasal 13 ayat 1).

Dari penjelasan-penjelasan diatas timbul pertanyaan apakah isi PP No.77 Tahun 2012 telah cukup dan benar sesuai dengan kebutuhan pelayanan navigasi penerbangan. Apakah cukup bermodalkan peraturan pemerintah tersebut maka Perum PPNPI telah layak memberikan pelayanan, jawabannya adalah BELUM.

Berikut ini catatan yang perlu diperhatikan untuk memperbaiki PP No.77 Tahun 2012.

Penulisan pasal sebaiknya urut dimulai dari pengertian umum lalu dilanjutkan dengan maksud dan tujuan dibentuknya Perum PPNPI dan seterusnya. Pasal 1 tentang pengertian tidak terlalu banyak menerangkan perihal pelayanan navigasi penerbangan. Hanya angka 1 yang berkaitan denganb pelayanan navigasi penerbangan. Sepertinya pasal 1 hanya menyalin isi UU No.19 Tahun 2003 Tentang BUMN dan yang PP terkait dengan UU itu. Pada pasal 1 alangkah baiknya di berikan pengertian-pengertian Flight Information Region (FIR), Civil Aviation Safety Regulation (CASR), Advisory Circular (AC) yang akan selalu berkaitan dengan dibentuknya badan hukum ini.

Dalam sebuah bentuk organisasi sebaiknya yang pertama kali diketahui adalah maksud dan tujuan dibentukya organisasi diikuti dengan wilayah kerjanya sehingga memudahkan bagi siapapun untuk mengetahui tujuan dari sebuah organisasi. Namun PP No.77 Tahun 2012 pasal terkait dengan maksud dan tujuan berada pada pasal 13.

Pelayanan navigasi penerbangan selalu berkaitan erat dengan ruang udara dimana pelayanan itu akan diberikan, maka menjadi penting PP No.77 Tahun 2012 harus menetapkan ruang udara yang menjadi tanggung jawab PPNPI.

Indonesia telah menjadi anggota International Civil Aviation Organization (ICAO) sejak tahun 1950 dan telah diberi kepercayaan memberi pelayanan navigasi penerbangan diruang udara Flight Information Region (FIR) Jakarta dan FIR Ujung Pandang, suatu ruang udara yang luas. Pada sekitar tahun 1980-an ruang udara tersebut telah dilimpahkan pelayanannya kepada Perum (ketika itu) Angkasa Pura I dan Perum Angkasa Pura II melalui Peraturan Pemerintah. Dan oleh karena itu perlu diterbitkan peraturan pemerintah yang menyatakan mengakhiri penyerahan sebelumnya dan menyerahkan kepada LPPNPI.
Selain itu masih ada peraturan pemerintah yang terkait dengan pelayanan navigasi penerbangan yang perlu diperbaharui dimana LPPNPI akan menjadi badan hukum yang berwenang.

Dalam dunia penerbangan sipil kepada siapa saja yang bermaksud menyelenggarakan pelayanan dan pendidikan diwajibkan untuk memiliki sertifikat operasi yang diatur dan diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara/Kementerian Perhubungan. LPPNPI sebagai "operator" wajib memperoleh sertifikat operasi sesuai aturan Menteri Perhubungan No.11 Tahun 2009 sebelum memulai operasi pelayanan navigasi penerbangan. Peraturan ini mensyaratkan beberapa hal sebelum LPPNPI memulai memberikan pelayanan dan yang lebih penting bahwa sertifikat operasi tidak boleh berasal dari suatu proses transfer dari badan hukum yang telah pernah memberikan pelayanan navigasi penerbangan.

Pembentukan LPPNPI berdasarkan PP No.77 Tahun 2012 adalah upaya menyatukan beberapa "ATS provider" yang ada sebelumnya dan mudah-mudahan akan menjadi satu-satunya penyelenggaran pelayanan navigasi penerbangan di Indonesia. Agar LPPNPI dalam menjalankan pelayanannya tetap patuh dengan semua undang-undang serta peraturan yang ada maka diperlukan Dewan Pengawas yang diatur antara lain melalui beberapa pasal seperti pasal 47. Seperti disebutkan pada pasal 1 angka 8 bahwa dewan pengawasa adalah organ perusahaan. Dewan pengawas diangkat oleh Menteri BUMN dan mendapat honorarium selama menjalankan tugasnya.

Dengan membaca pasal 48 ayat (1) kita menjumpai suatu yang mungkin janggal bahwa Ketua Dewan pengawas adalah Direktur Jenderal Perhubungan Udara, sebuah jabatan strukutral pada Kementerian Perhubungan, dapat diartikan jabatan struktural dilingkungan Kementerian Perhubungan diangkat oleh Kementerian BUMN. Pengangkatan PNS dalam organisasi seperti BUMN hanya dapat dilakukan melalui Keputusan Presiden dan mudah-mudahan Kepres untuk itu telah ada.
 
Dengan pengangkatan Direktur Jenderal Perhubugan udara maka dari segi hubungan regulator dengan operator yang semula telah dipisahkan keduanya ternyata pada sisi lain operator dan regulator tetap kembali menjadi satu.
Sebaiknya Direktur Jenderal Perhubungan Udara sebagai pimpinan tertinggi dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara yang salah satu fungsinya adalah melakukan "safety oversight" dan "compliance audit" sebagai kensekuensi dari menerbitkan sertifikat operasi, tidak menjadi bagian menjadi bahagian dari sebuah BUMN, dikuatirkan terjadi "personal hazard". (Pasal 55 ayat (1) huruf b).

Masih banyak yang perlu diperbaiki dalam PP Mo.77 Tahun 2012 agar pendirian serta pengoperasian pelayanan navigasi penerbangan oleh Perum LPPNPI menjadi "legitimate" yang memberikan mafaat bagi penggunan transaportasi udara.


PENUTUP DAN SARAN

Pada bagian akhir ini penulis ingin meenyampaikan bahwa informasi yang disampaikan diatas merupakan wujud koreksi yang ditujukan kepada Pemerintah terutama Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan yang telah melahirkan PP 77 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Perum LPPNPI.

Sesuatu yang harus segera dilakukan kepada Perum LPPNPI menyiapkan diri untuk dilakukan audit sebagai Operator seperti yang diwajibkan oleh perturan yang ada. Pemerintah disarankan misalnya bekerjasama dengan ICAO Regional Asia Pacific untuk memulai kegiatan audit.

Pemerintah perlu segera membatalkan PP tentang pendelegasian pengelolaan FIR Jakarta dan FIR Ujung Pandang yang selama ini diberikan kepada PT (Persero) Angkasa Pura I dan PT (Persero) Angkasa Pura II diperbaharui dengan PP pendelagasian pengelolaan FIR kepada Perum LPPNPI.

Disamping kegiatan audit kiranya akan menjadi lebih baik bagi Pemerintah membahas ulang serta memperbaiki PP 77 Tahun 2012 dengan melibatkan banyak pakar secara terbuka, terutama pelayanan navigasi penerbangan.

Terakhir kiranya perlu diingatkan bahwa dalam rangka implementasi Asean Economic Community dan selaras dengan program ICAO tentang harmonisasi pelayanan navigasi penerbangan dunia penguatan secara legitimasi dan pelayanan Perum LPPNPI sangatlah diperlukan. (NM)



 



Minggu, 24 Maret 2013


PROMOTING ADS-B TEKNOLOGI SURVEILLANCE BARU

Pada tahun 2002, ICAO menetapkan ADS-B sebagai "Prioritas Utama" untuk implementasi di kawasan Asia / Pasifik. Kebijaksanaan ICAO menyadari bahwa ADS-B sebagai "teknologi surveillance yang dapat dipilih untuk menggantikan radar pada industri transportasi udara". Perusahaan penerbangan dapat mengharapkan pengembalian investasi peralatan mereka dalam hal keselamatan, efisiensi dan peningkatan kapasitas wilayah udara.

Selama ini dalam penerbangan sipil digunakan “radar” sebagai fasilitas surveillance sebagai salah satu alat bantu navigasi penerbangan, lalu mengapa disebut bahwa ADS-B dapat menggantikan radar apa bedanya?
 
Apa itu ADS-B
Radar
ADS-B adalah pengganti untuk (atau untuk suplemen) surveillance tradisional pesawat terbang berbasis radar. ADS-B merupakan perubahan besar dalam filosofi surveillance – dari hanya menggunakan radar didarat mendeteksi pesawat terbang dan menentukan posisi mereka, namun sekarang setiap pesawat terbang dapat menggunakan GPS untuk menemukan posisinya sendiri dan kemudian secara otomatis melaporkannya kedarat.




Manfaat ADS-B
ADS-B
Ada tiga manfaat mendorong transisi ke ADS-B. Pertama, posisi GPS yang dilaporkan oleh ADS-B menjadi lebih akurat dibandingkan dengan posisi radar saat ini dan lebih konsisten. Ini berarti bahwa dalam IFR environment jarak antar pesawat terbang diudara dapat menjadi lebih dekat dari jarak antara (separation) yang boleh digunakan sekarang, dan ini memberikan peningkatan kapasitas yang sangat dibutuhkan di wilayah udara yang padat. Kedua, surveillance ADS-B lebih mudah dan lebih murah untuk dipasang dan dioperasikan daripada radar. Ini berarti bahwa wilayah udara yang sebelumnya tidak ada memiliki radar dan hanya layanan pemisahan prosedural (procedural separation) sekarang dapat menikmati manfaat dari layanan ATC lebih baik. Dan akhirnya, karena ADS-B adalah layanan broadcast yang dapat diterima oleh pesawat terbang selain ATC, ADS-B menawarkan pilihan bagi pesawat terbang untuk memiliki traffic awareness yang akurat dan murah akan adanya pesawat terbang lain di sekitarnya.

Kapankah ADS-B mulai operasi
Itu tergantung pada wilayah udara dimana ADS-B dipersyaratkan namun diperkirakan pada tahun 2020 semua penerbangan yang beroperasi IFR diwajibkan memfungsikan ADS-B. Otoritas penernbangan sipl Amerika Serikat FAA telah mengamanatkan ADS-B Out di semua wilayah udara AS di mana saat ini transponder diwajibkan, dengan batas waktu 2020.

ADS-B Coverage Indonesia
ATC Display
Indonesia memulai ADS-B programnya pada tahun 2006 dalam suatu kemitraan dengan SITA dan Thales, dan sejak itu memiliki 30 stasiun bumi “operasional” di seluruh nusantara. Pada November 2010, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjen Hubud) dan Airservices mulai bertukar dan secara operasional menggunakan Data ADS-B di dua wilayah flight information regions. Perjanjian ini memungkinkan controller untuk men-track pesawat terbang dilengkapi ADS-B hingga 150nm pada setiap sisi perbatasan, menambah keselamatan dan kesadaran situasional. Data dari empat stasiun ADS-B Australia ditransmisikan ke pusat pemanduan Makassar di Sulawesi, sedangkan pusat pemanduan Brisbane menerima data dari empat stasiun ADS-B Indonesia. Indonesia, seperti Australia, telah meningkatkan sistem EUROCAT Thales untuk menampilkan data ADS-B dan mengharapkan untuk menggunakan informasi surveillance untuk memberikan layanan pemisahan jarak (separation services) setelah menyelesaikan konsep operasional dan keselamatan serta prosedur. Airservices juga telah memberikan pelatihan sistem manajemen kesadaran keselamatan untuk lebih dari 100 controller Indonesia dan supervisors sebagai bagian dari inisiatif keamanan Asia-Pasifik pemerintah Australia.

Rencana Implementasi ADS-B di kawasan Asia Pacific
Cockpit Display
Pada 46th DGCA Conference, para DGCAs mengeluarkan pernyataan Kansai (RoK) yang mengungkapkan tekadnya untuk mewujudkan Sky Seamless untuk wilayah Asia dan Pasifik dan menyerukan untuk perencanaan sistem ATM masa depan melalui kerjasama dan partisipasi aktif dari seluruh kawasan. ADS-B adalah suatu blok bangunan dari sistem ATM masa depan dan pekerjaan Satuan Tugas ICAO Studi dan Implementasi ADS-B sangat penting untuk mewujudkan tujuan ini.

Selanjutnya pada 48th DGCA Conference menghasilkan langkah aksi “action item 48/8” yang berbunyi “Menyadari bahwa manfaat menyeluruh dari ADS-B hanya akan dicapai melalui penerapan harmonisasi, konverensi mendesak Negara dan Pemerintahan untuk mempercepat pelaksanaan ADS-B dan berbagi informasi rencana pelaksanaannya dengan ICAO Regional Office.”

Pada tahun 2011 Indonesia, Singapura dan Vietnam bekerjasama dalam proyek ADS-B untuk dua rute utama (trunk routes) di atas Laut Cina Selatan yaitu L642 dan M771. Proyek ini melibatkan instalasi stasiun penerima ADS-B di pulau Matak dan Natuna di Indonesia, pulau Con Son di Vietnam serta Singapura dan berbagi data ADS-B serta komunikasi VHF. Selanjutnya rencana operasional pelayanan pemanduan lalu lintas penerbangan pada tahun 2013.

Implementasi ADS-B
ADS-B adalah merupakan teknologi baru dalam dunia penerbangan sipil dalam bidang surveillance yang memanfaatkan kemampuan teknologi GPS. Dibandingkan dengan teknologi radar yang sudah digunakan secara luas pada awal tahun 70-an, maka ADS-B memberikan banyak kelebihan.

ADS-B Implementation Tahun 2013
Dalam penerbangan sipil sebelum suatu teknologi baru diimplementasikan maka harus didahului oleh beberapa kegiatan terutama terkait dengan masalah keselamatan penerbangan serta commonality diberbagai tempat didunia.

Pada awal tulisan ini disebutkan bahwa ADS-B merupakan “complement” dari radar yang lebih dahulu dan hingga sekerang masih digunakan. Diseluruh dunia, otoritas penerbangan sipil masih belum sepenuhnya bemaksud menghentikan penggunaan radar dan beralih kepada teknologi ADS-B, dengan alasan tersebut diperlukan kebijaksanaan dimana/kapan teknologi radar digunakan dan dimana ADS-B digunakan sebagai surveillance.

Kebijaksanaan yang dibutuhkan adalah untuk menetapkan antara lain, apakah teknologi ADS-B akan menggantikan semua teknologi radar pada waktu yang ditetapkan, atau ADS-B digunakan pada wilayah udara tertentu sedang pada wilayah udara disekitar bandar udara yang jumlah lalu lintas penerbangannya sibuk tetap menggunakan radar, atau pada wilayah udara tertentu karena pertimbangan keselamatan dan kelancaran lalu lintas penerbangan perlu menggunakan radar bersama-sama dengan ADS-B. Kebijaksanaan tersebut terlebih dahulu harus ditetapkan otoritas penerbangan sipil.

Semua negara anggota ICAO Asia Pacific telah sepakat menggunakan ADS-B berbasis 1090 Extended-Squiter ADS-B Out namun waktu mulai penerapannya bergantung dari kesiapan masing-masing negara anggota. ADS-B Out adalah suatu teknologi surveillance yang mirip dengan “atc-transponder” yang ada saat ini, data ADS-B dipancarkan oleh pesawat udara kemudian diterima oleh stasiun penerima ADS-B di darat yang selanjutnya akan diproses untuk kepentingan pemanduan lalu lintas penerbangan oleh Air Traffic Control.

ADS-B Receiver
Hingga saat ini tidak semua pesawat udara telah memiliki pemancar ADS-B, kecuali pesawat udara jenis baru yang baru keluar dari pabrik, seperti jenis Boeing 737-800/900, Airbus 319/320 serta pesawat berbadan lebar yang digunakan untuk penerbangan internasional. Lalu bagaimana dengan pesawat yang tidak memiliki kemampuan ADS-B, seperti pesawat “general aviation”, pesawat udara militer serta pesawat udara jenis tertentu yang tidak mungkin dilengkapi dengan ADS-B.

Disanalah otoritas penerbangan sipil sebagai pengayom dan pembina penerbangan perlu melakukan pendekatan dan pembahasan dengan seluruh pemegang kepetingan membahas bersama-sama yang biasanya membutuhkan waktu dan dari pembahasan itulah dapat disepakati waktu dan kawasan diberlakukannya ADS-B Out.

Setelah berhasil mencapai kesepakatan, dan peraturan dan prosedure terkait termasuk persyaratan pelatihan bagi pilot dan air traffic controller, serta bagaimana pemasangan peralatan ADS-B dipesawat udara (fitment) serta tata-cara pengujianya. Selanjutnya harus diterbitkan Aeronautical Information Circular (AIC) yang berisi informasi semua aspek yang diperlukan dalam penggunaan ADS-B Out yang merupakan pernyataaan resmi dari otoritas penerbangan sipil sebuah negara.

Negara Asia Pacific
Dibawah ini adalah daftar negara-negara Asia Pacific yang telah menyatakan akan mengimplementasikan ADS-B Out yang disampaikan melalui AIC:

1. Australia, melalui AIC nomor H09/11 berlaku tanggal 15 Juni 2011 dengan judul “TRANSITION TO SATELLITE TECHNOLOGY FOR NAVIGATION AND SURVEILLANCE”. Selanjutnya Australia menerbitkan AIP Supp No.H96/12 sebagai pernyataan pasti bahwa ADS-B Out menjadi “mandatory” diberlakukan 12 Desember 2013 .

2. Singapura, melalui AIC nomor 14/10 tanggal 28 Desember 2010 dengan judul “INTRODUCTION OF AUTOMATIC DEPENDENT SURVEILLANCE BROADCAST (ADS-B) OUT SERVICES WITHIN PARTS OF THE SINGAPORE FIR” berencana implementasi pada tanggal 12 Desember 2013.

3. HongKong, China, melalui AIC nomor 09/11 tanggal 29 May 2011 dengan judul “AUTOMATIC DEPENDENT SURVEILLANCE BROADCAST (ADS-B) OUT OPERATIONS” berencana implementasi pada tanggal 12 Desember 2013.

Sebenarnya sudah banyak negara dikawasan Asia Pacific yang memasang stasiun penerima data ADS-B namun mereka belum secara pasti menetapkan kapan mengharuskan penggunaan teknologi tersebut sebagai kemampuan surveillance.

Indonesia telah memasang sebanya 30 unit stasiun penerima data ADS-B seperti gambar diatas, namun hingga penulisan ini belum secara jelas kapan akan mengimplementasikan, pada dari sisi pemilik pesawat terbang jenis baru di Indonesia seperti Airbus, Boeing, Sukhoi telah mampu memancarkan data ADS-B.

Semoga dalam rangka menghadapi Asean Single Aviation Market (ASAM) yang rencananya akan dimulai pada tahun 2015, Kementerian Perhubungan bersama-sama semua pemangku kepentingan transportasi udara sipil dan negara mulai menyusun policy, peraturan, mensosialisari dan melatih semua yang berkepentingan. (NM)