Selasa, 07 Januari 2014


Pemikiran Mengurangi Kesemrawutan LLJR di Jabodetabek

Kota Jakarta, Ibukota Indonesia hampir setiap hari dikeluhkan orang dengan kemacetan lalu lintas, dari pagi hari hingga lepas waktu Isya. Apa yang sebenarnya terjadi dirasakan bahwa semakin hari tingkat kemacetan semakin parah dan orang kemudian menuding pihal lain sebagai penyebab kemacetan. Apa sebenarnya penyebab kemacetan itu? Jawabanya tidak hanya satu faktor sebagai penyebab kemacetan.
Jakarta yang “didirikan” kurang lebih 460 tahun yang lalu tidak memiliki konsep yang jelas dalam artian bahwa ia dijadikan kota perdagangan, industri, budaya, pendidikan dan pusat pemerintahan.
Luas kota Jakarta adalah  7.659,02 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2011 sebanyak 10.187.595 jiwa.
Sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan serta tuntutan perekonomian Kota Jakarta dikelilingi oleh beberapa wilayah/kota Depok, Bekasi, Tangerang dan Tangerang Selatan dengan masing-masing jumlah penduduknya maka menjadikan Kota Metropolitan Jakarta berpenduduk sekitar 20 juta jiwa.

Kemacetan lalu lintas jalan raya

Kemacetan lalu lintas jalan raya di dalam kawasan Jabodetabek merupakan keadaan yang semenjak tahun 1970 terus berlanjut dan semakin tahun semakin buruk. Dari satu Gubernur ke yang lainnya dan keterlibatan Pemerintah Pusat telah mencoba secara “serius” maupun hanya “lip service” terus di “wacanakan”, tetapi hasilnya semakin hari semakin “semrawut”.
Penyelesaian “kesemrawutan” selalu diselesaikan dengan cara “membangun fisik”, seperti jalan bebas hambatan, pelebaran jalan maupun penyediaan sistim transportasi umum. Kala penyediaan infrastruktur mulai “megap-megap” karena ketersediaan dana yang tidak cukup maka muncullah “kebijakan” pembatasan. Konsep “three in one (car pooling)”, pembatasan (mungkin akan dilakukan) penyediaan bahan bakar untuk kendaraan roda-empat, penyediaan sistim transportasi masal bis ber-ac namun ternyata tidak menyelesaikan masalah.
Rencana penyediaan kereta api listrik bawah tanah (sebagian di permukaan) sekarang (tahun 2013) sedang dimulai dengan harapan menggurangi “kesemrawutan” itu. Pertanyaannya adalah jika kita nilai “kesemrawutan” saat ini sudah 100% maka ketika sistim kereta api listrik kelak beroperasi berapa persen tingkat “kesemrawutan” akan berkurang.
Ada baiknya para akhli menghitung waktu tempuh bagi sesorang yang bertempat tinggal di Bekasi dan bekerja di kawasan Kalideres pergi dan pulang saat ini (tahun 2013) dan kelak tiga tahun kedepan.

Pusat Pemerintahan dan Perekonomian

Pusat pemerintahan Indonesia berada di Jakarta telah mengakibatkan kegiatan pemerintahan seperti terpusat dalam satu titik yang menarik bagi banyak orang melakukan hampir semua kegiatannya. Kegiatan yang dilakukan seperti gerakan domino dimana satu dengan lainnya saling berkaitan dan saling membutuhkan.
Kegiatan perekonomian yang berada dikawasan Jabodetabek yang mungkin dulunya telah direncanakan sedemikian rupa, ternyata pada akhirnya kegiatan perekonomian mengakibatkan lalu lintas barang melintasi beberapa wilayah yang menggunakan sistim transportasi jalan raya.
Banyaknya “kantor manajemen” perusahaan swasta dan perusahaan BUMN berlokasi di dalam “lingkaran DKI” mengakibatkan mobilitas pegawai dan eksekutif perusahaan serta pendukungnya jadi meningkat.

Kegiatan Jasa

Penulis mengartikan kegiatan jasa adalah hubungan manusia dengan manusia lainnya baik menurut “strata kehidupan ekonomi” maupun”strata tingkatan kepemerintahan”.
Kegiatan jasa yang dilakukan oleh banyak orang/penduduk yang berdomisili di kawasan Jabodetabek demikian tinggi dan mungkin hanya berkurang diatas pukul 22.00 wib. Sebagian besar kegiatan jasa itu menggunakan kegiatan fisik, yaitu bertemu, berkumpul atau mendatangi disuatu lokasi, sehingga membutuhkan pergerakan manusia dari satu lokasi kelainnya yang kadang sering membutuhkan transportasi kendaraan.
Dengan adanya fasilitas telekomunikasi sebenarnya kegiatan jasa dapat dilakukan tanpa harus bertemu fisik sehingga dapat mengurangi mobilitas yang menggunakan transportasi roda empat/roda dua (sepeda motor).

Mengurangi kemacetan lalu lintas di Jabodetabek

Dari pengamatan selama ini bahwa kemacetan dan kesemerawutan lalu-lintas jalan raya di kawasan Jabodetabek diakibatkan banyak hal yang satu dan lainnya saling berkaitan dan tidak ada obat yang “cespleng”. Dan oleh sebab itu mungkin dapat dicoba pemikiran radikal dibawah ini.

Pemikiran pertama

Pindahkan semua kantor pusat kementerian dan kantor Perusahaan BUMN, keluar dari Pulau Jawa. Ini ide “gila” tetapi merupakan upaya untuk mengatur “gula” agar semutnya juga dapat pindah. Contoh sederhana yang dapat kita lihat adalah ketika masa liburan lebaran tiba dimana kantor-kantor kementerian dan kantor Perusahaan BUMN tutup maka keruwetan yang biasa terjadi pindah ke lokasi lain. Artinya orang/penduduk beraktifitas berkaitan dengan apa yang menarik bagi mereka, tanpa harus disuruh jika menarik biasanya orang/penduduk akan melakukan mobilisasi.
Mari kita berangan-angan misalnya kantor Kementerian Pekerjaan Umum beserta direktorat jenderal-nya dipindahkan keluar pulau Jawa maka berapa ribu pegawai negeri sipil yang turut pindah.

Pemikiran kedua

Pemikiran kedua merupakan langkah yang “gampang-gampang-susah” yaitu telekomunikasi. Artinya banyak orang telah memanfaatkan teknologi telekomunikasi yang sangat maju, dijalan-jalan orang tidak hentinya berkomunikasi melalui dunia maya atau paling tidak ditangannya memegang alat telpon cellular yang dapat digolongkan maju (advance). Orang dikaki-lima disekitar Jalan Thamrin dapat berkomunikasi dengan seseorang yang misalnya berada di Palembang. Jadi itu bagian “gampang”-nya. Susahnya adalah fasilitas telekomunikasi tersebut tidak dimanfaatkan oleh semua orang dalam urusan melaksanakan  pekerjaanya (kegiatan jasa). Masih banyak orang menyelesaikan pekerjaan harus datang dan bertemu dengan orang. Hal itu dapat meningkatkan mobilitas kendaraan roda empat/roda dua.
Gerakan yang dilakukan oleh pengelola bank dapat kita lihat merupakan upaya berhasil dengan meletakan mesin anjungan tunai mandiri, paling tidak dalam jangkauan lima kilometer dari kita tinggal, ternyata telah dapat mengubah pola orang/penduduk memenuhi kebutuhan dasar keuangannya tanpa harus menuju bank bertemu pegawai bank.

Pemikiran ketiga

Semua orang/penduduk perlu merobah pola kegiatan dalam melakukan aktifitas sehari-hari dengan mengurangi mobilitas, misalnya sedapat mungkin mobilitas dilakukan tidak jauh dari tempat tinggalnya. Sekolah dan tempat kerja serta pasar berada dalam radius lima kilometer dari tempat tinggal. Dengan demikian pergerakan orang/penduduk dapat dilakukan dengan berjalan kaki atau bersepeda.
Perumahan tempat tinggal beserta prasarana umum sekolah, rumah sakit pasar dibangun dalan radius lima kilometer dari tempat kerja, dengan demikian jumlah kendaraan roda-empat dapat dikurangi. Orang/penduduk harus meninggalkan pola pemikiran bahwa sanggup memiliki kendaraan roda-empat maka lokasi kegiatan sehari-hari dapat jauh dari tempat tinggalnya.

Kesimpulan

Bahwa kemacetan lalu lintas jalan raya di kawasan Jabodetabek adalah hasil dari kebijaksanaan, keputusan dan pola hidup semua orang/penduduk yang ada disana sehingga penyelesaianya harus melibatkan perubahan pola hidup, cara berpikir serta kesadaran semua orang/penduduk yang ada didalamnya.
Peningkatan disiplin bermasyarakat yang benar sesuai norma serta berlalu lintas harus dimulai dari diri sendiri sebagai orang tua dan kepada anaknya, dan jangan menuntut orang lain berdisiplin.
Penyelesain “kesemrawutan” lalu lintas di kawasan Jabodetabek tidak selalu harus membangun infrastruktur, tetapi dapat pula dilakukan dengan perubahan budaya, pola pikir serta disiplin diri dalam bermasyarakat oleh orang/penduduknya. (NM)