Pemikiran Mengurangi Kesemrawutan LLJR di Jabodetabek
Kota Jakarta, Ibukota Indonesia hampir setiap hari
dikeluhkan orang dengan kemacetan lalu lintas, dari pagi hari hingga lepas
waktu Isya. Apa yang sebenarnya terjadi dirasakan bahwa semakin hari tingkat
kemacetan semakin parah dan orang kemudian menuding pihal lain sebagai penyebab
kemacetan. Apa sebenarnya penyebab kemacetan itu? Jawabanya tidak hanya satu
faktor sebagai penyebab kemacetan.
Jakarta yang “didirikan” kurang lebih 460 tahun yang lalu
tidak memiliki konsep yang jelas dalam artian bahwa ia dijadikan kota
perdagangan, industri, budaya, pendidikan dan pusat pemerintahan.
Luas kota Jakarta adalah
7.659,02 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2011 sebanyak
10.187.595 jiwa.
Sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan serta tuntutan
perekonomian Kota Jakarta dikelilingi oleh beberapa wilayah/kota Depok, Bekasi,
Tangerang dan Tangerang Selatan dengan masing-masing jumlah penduduknya maka
menjadikan Kota Metropolitan Jakarta berpenduduk sekitar 20 juta jiwa.
Kemacetan lalu lintas
jalan raya
Kemacetan lalu lintas jalan raya di dalam kawasan
Jabodetabek merupakan keadaan yang semenjak tahun 1970 terus berlanjut dan
semakin tahun semakin buruk. Dari satu Gubernur ke yang lainnya dan
keterlibatan Pemerintah Pusat telah mencoba secara “serius” maupun hanya “lip
service” terus di “wacanakan”, tetapi hasilnya semakin hari semakin “semrawut”.
Penyelesaian “kesemrawutan” selalu diselesaikan dengan
cara “membangun fisik”, seperti jalan bebas hambatan, pelebaran jalan maupun
penyediaan sistim transportasi umum. Kala penyediaan infrastruktur mulai
“megap-megap” karena ketersediaan dana yang tidak cukup maka muncullah
“kebijakan” pembatasan. Konsep “three in one (car pooling)”, pembatasan (mungkin
akan dilakukan) penyediaan bahan bakar untuk kendaraan roda-empat, penyediaan
sistim transportasi masal bis ber-ac namun ternyata tidak menyelesaikan
masalah.
Rencana penyediaan kereta api listrik bawah tanah
(sebagian di permukaan) sekarang (tahun 2013) sedang dimulai dengan harapan
menggurangi “kesemrawutan” itu. Pertanyaannya adalah jika kita nilai “kesemrawutan”
saat ini sudah 100% maka ketika sistim kereta api listrik kelak beroperasi
berapa persen tingkat “kesemrawutan” akan berkurang.
Ada baiknya para akhli menghitung waktu tempuh bagi
sesorang yang bertempat tinggal di Bekasi dan bekerja di kawasan Kalideres
pergi dan pulang saat ini (tahun 2013) dan kelak tiga tahun kedepan.
Pusat Pemerintahan dan
Perekonomian
Pusat pemerintahan Indonesia berada di Jakarta telah mengakibatkan
kegiatan pemerintahan seperti terpusat dalam satu titik yang menarik bagi
banyak orang melakukan hampir semua kegiatannya. Kegiatan yang dilakukan
seperti gerakan domino dimana satu dengan lainnya saling berkaitan dan saling
membutuhkan.
Kegiatan perekonomian yang berada dikawasan Jabodetabek
yang mungkin dulunya telah direncanakan sedemikian rupa, ternyata pada akhirnya
kegiatan perekonomian mengakibatkan lalu lintas barang melintasi beberapa
wilayah yang menggunakan sistim transportasi jalan raya.
Banyaknya “kantor manajemen” perusahaan swasta dan
perusahaan BUMN berlokasi di dalam “lingkaran DKI” mengakibatkan mobilitas
pegawai dan eksekutif perusahaan serta pendukungnya jadi meningkat.
Kegiatan Jasa
Penulis mengartikan kegiatan jasa adalah hubungan manusia
dengan manusia lainnya baik menurut “strata kehidupan ekonomi” maupun”strata tingkatan
kepemerintahan”.
Kegiatan jasa yang dilakukan oleh banyak orang/penduduk
yang berdomisili di kawasan Jabodetabek demikian tinggi dan mungkin hanya
berkurang diatas pukul 22.00 wib. Sebagian besar kegiatan jasa itu menggunakan
kegiatan fisik, yaitu bertemu, berkumpul atau mendatangi disuatu lokasi,
sehingga membutuhkan pergerakan manusia dari satu lokasi kelainnya yang kadang sering
membutuhkan transportasi kendaraan.
Dengan adanya fasilitas telekomunikasi sebenarnya
kegiatan jasa dapat dilakukan tanpa harus bertemu fisik sehingga dapat
mengurangi mobilitas yang menggunakan transportasi roda empat/roda dua (sepeda
motor).
Mengurangi kemacetan
lalu lintas di Jabodetabek
Dari pengamatan selama ini bahwa kemacetan dan
kesemerawutan lalu-lintas jalan raya di kawasan Jabodetabek diakibatkan banyak
hal yang satu dan lainnya saling berkaitan dan tidak ada obat yang “cespleng”. Dan
oleh sebab itu mungkin dapat dicoba pemikiran radikal dibawah ini.
Pemikiran pertama
Pindahkan semua kantor pusat kementerian dan kantor
Perusahaan BUMN, keluar dari Pulau Jawa. Ini ide “gila” tetapi merupakan upaya
untuk mengatur “gula” agar semutnya juga dapat pindah. Contoh sederhana yang dapat
kita lihat adalah ketika masa liburan lebaran tiba dimana kantor-kantor
kementerian dan kantor Perusahaan BUMN tutup maka keruwetan yang biasa terjadi
pindah ke lokasi lain. Artinya orang/penduduk beraktifitas berkaitan dengan apa
yang menarik bagi mereka, tanpa harus disuruh jika menarik biasanya
orang/penduduk akan melakukan mobilisasi.
Mari kita berangan-angan misalnya kantor Kementerian
Pekerjaan Umum beserta direktorat jenderal-nya dipindahkan keluar pulau Jawa maka
berapa ribu pegawai negeri sipil yang turut pindah.
Pemikiran kedua
Pemikiran kedua merupakan langkah yang
“gampang-gampang-susah” yaitu telekomunikasi. Artinya banyak orang telah
memanfaatkan teknologi telekomunikasi yang sangat maju, dijalan-jalan orang
tidak hentinya berkomunikasi melalui dunia maya atau paling tidak ditangannya
memegang alat telpon cellular yang dapat digolongkan maju (advance). Orang
dikaki-lima disekitar Jalan Thamrin dapat berkomunikasi dengan seseorang yang
misalnya berada di Palembang. Jadi itu bagian “gampang”-nya. Susahnya adalah
fasilitas telekomunikasi tersebut tidak dimanfaatkan oleh semua orang dalam
urusan melaksanakan pekerjaanya
(kegiatan jasa). Masih banyak orang menyelesaikan pekerjaan harus datang dan
bertemu dengan orang. Hal itu dapat meningkatkan mobilitas kendaraan roda
empat/roda dua.
Gerakan yang dilakukan oleh pengelola bank dapat kita
lihat merupakan upaya berhasil dengan meletakan mesin anjungan tunai mandiri,
paling tidak dalam jangkauan lima kilometer dari kita tinggal, ternyata telah dapat
mengubah pola orang/penduduk memenuhi kebutuhan dasar keuangannya tanpa harus
menuju bank bertemu pegawai bank.
Pemikiran ketiga
Semua orang/penduduk perlu merobah pola kegiatan dalam
melakukan aktifitas sehari-hari dengan mengurangi mobilitas, misalnya sedapat
mungkin mobilitas dilakukan tidak jauh dari tempat tinggalnya. Sekolah dan tempat
kerja serta pasar berada dalam radius lima kilometer dari tempat tinggal. Dengan
demikian pergerakan orang/penduduk dapat dilakukan dengan berjalan kaki atau
bersepeda.
Perumahan tempat tinggal beserta prasarana umum sekolah,
rumah sakit pasar dibangun dalan radius lima kilometer dari tempat kerja,
dengan demikian jumlah kendaraan roda-empat dapat dikurangi. Orang/penduduk
harus meninggalkan pola pemikiran bahwa sanggup memiliki kendaraan roda-empat
maka lokasi kegiatan sehari-hari dapat jauh dari tempat tinggalnya.
Kesimpulan
Bahwa kemacetan lalu lintas jalan raya di kawasan
Jabodetabek adalah hasil dari kebijaksanaan, keputusan dan pola hidup semua
orang/penduduk yang ada disana sehingga penyelesaianya harus melibatkan
perubahan pola hidup, cara berpikir serta kesadaran semua orang/penduduk yang
ada didalamnya.
Peningkatan disiplin bermasyarakat yang benar sesuai
norma serta berlalu lintas harus dimulai dari diri sendiri sebagai orang tua
dan kepada anaknya, dan jangan menuntut orang lain berdisiplin.
Penyelesain “kesemrawutan” lalu lintas di kawasan
Jabodetabek tidak selalu harus membangun infrastruktur, tetapi dapat pula
dilakukan dengan perubahan budaya, pola pikir serta disiplin diri dalam
bermasyarakat oleh orang/penduduknya. (NM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar dan masukannya/Thank you for commenting