PENGELOLAAN LANGIT KOTA BATAM:
Mengapa dilakukan oleh Negara tetangga?
Mengapa dilakukan oleh Negara tetangga?
1.
Pendahuluan
Dalam sebuah seminar Komunitas ASEAN di Batam[1] belum lama ini, seorang petugas control Bandara Hang Nadim Batam mengatakan bahwa pengelolaan wilayah udara Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau dan sekitarnya untuk system navigasi penerbangan oleh negeri jiran Singapura, sangat merugikan Indonesia. Kenapa? Karena pemerintah (Indonesia) menjadi kehilangan kendali atas langitnya sendiri.
Menanggapi hal tersebut, pengamat penerbangan Ruth
Hanna Simatupang antara lain mengatakan: (1) pengelolaan navigasi oleh
Singapura membuat kedaulatan Indonesia berkurang. Meski Singapura memiliki
kemampuan lebih dalam system navigasi, pemerintah Indonesia tidak bisa
memberikan pengelolaan langit Batam ke negeri jiran itu. Sebaliknya pemerintah
harus mengandalkan kemampuan dalam negeri sendiri; (2) Akibat kedaulatan negara
yang berkurang di wilayah udara Batam, system pengawasan, pengelolaan, dan
pengembangan maskapai penerbangan maupun infrastruktur pendukungnya menjadi
lemah.
Masalahnya adalah (1) apakah yang disampaikan pengamat
penerbangan itu benar demikian, dan (2) apa upaya kita untuk mengembalikan
ruang udara Indonesia yang selama ini
dikelola oleh Negara tatangga (Singapur dan Malaysia), dalam kurun waktu
seperti diamanatkan UU Nomor 1/2009 atau bahkan sebelumnya?.
Untuk kepentingan pelayanan lalu lintas udara (air
traffic services), seluruh ruang udara di atas permukaan bumi dibagi habis
menjadi wilayah-wilayah penerbangan yang dikenal dengan sebutan Flight
Information Region/FIR[3]
dengan batas-batas yang jelas sebagaimana halnya batas wilayah kedaulatan.
Sementara di sisi lain kita mengetahui adanya wilayah kedaulatan Negara yang
meliputi wilayah darat, laut territorial maksimal sampai dengan 12 mil yang
mengelilingi wilayah darat tersebut, serta ruang udara di atas wilayah darat
dan laut territorial itu.
a.
Batas FIR
berimpit dengan batas wilayah kedaulatan Negara. Dalam keadaan seperti ini
Negara yang bersangkutan memberikan pelayanan lalu-lintas udara pada wilayah
yang sama dengan wilayah kedaulatannya.
b.
Batas FIR berada
jauh diluar batas wilayah kedaulatan Negara. Dalam keadaan seperti iti Negara
yang bersangkutan memberikan pelayanan lalu-lintas udara selain di wilayah
kedaulatannya sendiri, juga (pada bagian tertentu) di luar wilayah
kedaulatannya.
c.
Batas FIR ‘masuk’
dan berada di dalam wilayah kedaulatan Negara. Dalam keadaan seperti ini Negara
yang bersangkutan memberikan pelayanan lalu-lintas udara pada sebagian
wilayah kedaulatannya, sementara
pada bagian lain wilayah
kedaulatannya, khusus untuk pelayanan lalu-lintas udaranya didelegasikan kepada
Negara lain (tetangganya).
Bagaimana dengan Indonesia pada saat ini?
Ruang udara yang dilayani[4]
meliputi:
a. wilayah udara Republik Indonesia, selain wilayah udara yang
pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan
perjanjian. Pendelegasian pelayanan navigasi
penerbangan pada wilayah udara semata-mata berdasarkan alasan teknis
operasional dan tidak terkait dengan kedaulatan atas wilayah udara Indonesia
serta bersifat sementara;
b. ruang udara negara lain yang pelayanan navigasi penerbangannya
didelegasikan kepada Republik Indonesia;
c. ruang udara yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan
oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional kepada Republik Indonesia. Pendelegasian
ruang udara oleh organisasi penerbangan sipil internasional ini adalah di ruang
udara di atas wilayah yang bukan merupakan teritorial suatu negara atau di atas
laut bebas.
Sesuai
dengan ketentuan tersebut, saat ini Indonesia memiliki 2 FIR/UIR yakni FIR
Jakarta, dan FIR Makassar. Kedua FIR tersebut mencakup sebagian besar wilayah
Indonesia serta wilayah udara internasional di atas Lautan Hindia, wilayah udara
Pulau Christmas Australia, dan wilayah udara Timor Leste. Namun di beberapa wilayah udara Indonesia terdapat
area yang pelayanan navigasinya didelegasikan kepada negara lain, seperti di
atas kepulauan Natuna dan di atas Halmahera. Sebaliknya, ada pula teritori
negara lain yang pelayanan navigasinya didelegasikan kepada Indonesia, yaitu:
Pulau Christmas dan sebagian teritori Oakland.
Secara keseluruhan luas FIR Indonesia sekitar 2,2 juta nautical mil persegi (sedangkan luas
teritori Indonesia 1,47 juta nautical
mil persegi), termasuk FIR untuk Pulau Christmas milik
Australia, wilayah Papua Niugini dan Timor Leste yang belum lama
merdeka. Artinya, pesawat Australia yang akan terbang dari Sydney
ke Pulau Christmas, misalnya, melapornya harus ke Indonesia. Kenyataan tersebut
menegaskan lagi bahwa masalah alur dan pengaturan
penerbangan tidak sepenuhnya dikaitkan dengan kedaulatan negara.
Untuk jelasnya, gambar FIR Indonesia tersebut dapat
dilihat dalam peta berikut:
Gb. 1
DI HONOLULU DAN TERITORI BERDASARKAN PP 38 TAHUN 2002
3.
Bagaimana peraturan perundang-undanganan mengatur
wilayah udara?
Berbicara tentang wilayah udara, lebih
tepatnya kedaulatan Negara di ruang udara, umum diacu ketentuan Konvensi
Penerbangan Sipil Internasional (Convention
on International Civil Aviation) yang ditandatangani di Chicago tahun
1944. Pasal 1 konvensi tersebut menegaskan bahwa:
“The contracting
States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over
the airspace above its territory.” Sedangkan apa yang dimaksud dengan ‘territory’ itu dijelaskan dalam Pasal 2-nya yang bagi
Indonesia tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945.
Konvensi Chicago 1944 memiliki 18 Annex, salah
satunya yang berkaitan erat dengan pelayanan lalu lintas udara adalah Annex 11
yang berjudul Air Traffic Services. Dalam Annex tersebut diberikan kemungkinan
bagi sebuah Negara untuk mendelegasikan
tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan dan pelayanan lalu lintas udara dalam wilayahnya (…….by mutual agreement, a
State may delegate to another State the responsibility for establishing and providing
air traffic services in flight information regions, control areas or control
zones extending over the territories of the former).
Pendelegasian penyelenggaraan pelayanan lalu-lintas udara
tersebut hanya terbatas pada teknis operasional pelayanan lalu lintas udara
saja. Oleh karenanya, kata Annex 11 itu, pendelegasian kewenangan seperti itu
sama sekali tidak mengurangi arti kedaulatan Negara yang bersangkutan (it does so without derogation of
its national sovereignty).
Atas kesepakatan Negara-negara terkait,
kesepakatan pendelegasian tersebut tentu saja kapanpun dapat diakhiri (Both
the delegating and providing States may terminate the agreement between them at any time).
Pengaturan
tentang kedaulatan Negara di ruang udara, kita jumpai juga pada Konvensi Hukum
Laut Internasional (United Nation
Convention on The Law of The Sea / UNCLOS), yang menegaskan sebagai
berikut: [5]
“ 1. The sovereignty of a coastal State extends, beyond
its land territory and internal waters and, in the case of an archipelagic
State, its archipelagic waters, to an adjacent belt of sea, described as the
territorial sea.
2. This sovereignty extends to the air space over
the territorial sea as well as to its bed and subsoil.
3. the sovereignty over the territorial sea is
exercised subject to this Convention and to other rules of international law. “
Konvensi yang telah diratifikasi
dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention
on the law of the sea ini
membawa pengaruh sangat besar bagi Indonesia. Perairan Natuna dan Riau yang
awalnya merupakan perairan Internasional berubah menjadi perairan milik
Indonesia. Dengan kata lain, wilayah udara yang ada diatasnya pun termasuk kedalam
wilayah Indonesia. FIR Singapura yang mencakup kedua wilayah perairan tersebut
pun semakin dipertimbangkan karena dianggap telah menyentuh kedaulatan.
Dalam peraturan
perundang-undangan nasional Indonesia peraturan lain yang mengatur tentang kedaulatan Negara Indonesia di ruang
udara dapat kita temukan antara lain pada Undang-Undang Nomor 6/1996 ttg Perairan Indonesia Undang-Undang Nomor 43/2008 ttg Wilayah Negara, Undang-Undang Penerbangan (sekarang UU Nomor
1 Tahun 2009) serta peraturan pelaksanaannya. Salah satunya adalah adalah PP
Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan. Peraturan
pelaksanaan yang lain yang tidak begitu banyak diketahui adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat
Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut
Kepulauan Yang Ditetapkan, sebagai peraturan pelaksanaan UU No. 6 Tahun 1996.
Dalam PP No. 37/2002
antara lain diatur:
a.
Kapal dan pesawat udara asing dapat melaksanakan Hak
Lintas Alur Laut Kepulauan, untuk pelayaran atau penerbangan dari satu bagian
laut bebas atau zona ekonomi eksklusif ke bagian lain laut bebas atau zona
ekonomi eksklusif melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia. (Pasal 2);
b.
Pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan melalui alur laut atau melalui udara di atas
alur laut yang ditetapkan sebagai alur laut kepulauan yang dapat digunakan
untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tersebut sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 11. (Pasal 3 ayat 1);
c.
Pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini di bagian-bagian lain Perairan
Indonesia dapat dilaksanakan setelah di bagian-bagian lain tersebut ditetapkan
alur laut kepulauan yang dapat digunakan untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut
Kepulauan tersebut. (Pasal 3 ayat 2);
d.
Kapal dan pesawat udara asing yang melaksanakan Hak
Lintas Alur Laut Kepulauan harus melintas secepatnya melalui atau terbang di
atas alur laut kepulauan dengan cara normal, semata-mata untuk melakukan
transit yang terus-menerus, langsung, cepat, dan tidak terhalang. (Pasal 4 ayat 1);
e.
Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan lintas
alur laut kepulauan, selama melintas tidak boleh menyimpang lebih dari 25 (dua
puluh lima) mil laut ke kedua sisi dari garis sumbu alur laut kepulauan, dengan
ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau
terbang dekat ke pantai kurang dari 10 % (sepuluh per seratus) jarak antara
titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut
kepulauan tersebut. (Pasal 4 ayat 2).
Bersambung……………….
[1]
Media
Indonesia edisi Selasa 20 Maret 2012.
[2]
FIR = An airspace of defined dimensions within which
flight information service and alerting service are provided. (Annex 11: ATS,
Ch. 1)
FIR adalah suatu ruang udara yang
ditetapkan dimensinya dan didalamnya terdapat Flight Information Service dan
Alerting Service. Flight Information Service adalah pelayanan
yang dibentuk dan dipersiapkan untuk memberikan saran dan informasi secara
penuh untuk keselamatan dan efisiensi penebangan. Alerting Service adalah
pelayanan yang diberikan kepada organisasi yang berkaitan dengan pesawat
terbang/ penerbangan yang membutuhkan pertolongan dan dan membantu organisasi
yang membutuhkan bantuan pencarian dan pertolongan
[3] An airspace of defined
dimensions within which flight information service and alerting service are
provided. (Annex 11: ATS, Ch. 1)
[4]
Pasal 262 UU No. 1/2009
[5]
Art. 2 (UNCLOS 1982).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar dan masukannya/Thank you for commenting