Selasa, 08 Mei 2012


PENGELOLAAN LANGIT KOTA BATAM:
Mengapa dilakukan oleh Negara tetangga?
1.         Pendahuluan

Dalam sebuah seminar Komunitas ASEAN di Batam[1] belum lama ini, seorang petugas control Bandara Hang Nadim Batam mengatakan bahwa pengelolaan wilayah udara Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau dan sekitarnya untuk system navigasi penerbangan oleh negeri jiran Singapura, sangat merugikan Indonesia. Kenapa? Karena pemerintah (Indonesia) menjadi kehilangan kendali atas langitnya sendiri.

Menanggapi hal tersebut, pengamat penerbangan Ruth Hanna Simatupang antara lain mengatakan: (1) pengelolaan navigasi oleh Singapura membuat kedaulatan Indonesia berkurang. Meski Singapura memiliki kemampuan lebih dalam system navigasi, pemerintah Indonesia tidak bisa memberikan pengelolaan langit Batam ke negeri jiran itu. Sebaliknya pemerintah harus mengandalkan kemampuan dalam negeri sendiri; (2) Akibat kedaulatan negara yang berkurang di wilayah udara Batam, system pengawasan, pengelolaan, dan pengembangan maskapai penerbangan maupun infrastruktur pendukungnya menjadi lemah.

Masalahnya adalah (1) apakah yang disampaikan pengamat penerbangan itu benar demikian, dan (2) apa upaya kita untuk mengembalikan ruang udara Indonesia  yang selama ini dikelola oleh Negara tatangga (Singapur dan Malaysia), dalam kurun waktu seperti diamanatkan UU Nomor 1/2009 atau bahkan sebelumnya?.

 2.         Wilayah Penerbangan (FIR/UIR)[2]

Untuk kepentingan pelayanan lalu lintas udara (air traffic services), seluruh ruang udara di atas permukaan bumi dibagi habis menjadi wilayah-wilayah penerbangan yang dikenal dengan sebutan Flight Information Region/FIR[3] dengan batas-batas yang jelas sebagaimana halnya batas wilayah kedaulatan. Sementara di sisi lain kita mengetahui adanya wilayah kedaulatan Negara yang meliputi wilayah darat, laut territorial maksimal sampai dengan 12 mil yang mengelilingi wilayah darat tersebut, serta ruang udara di atas wilayah darat dan laut territorial itu.

 Jika dibandingkan luas wilayah udara yang menjadi bagian kedaulatan Negara-negara di dunia dengan seluruh ruang udara di atas permukaan bumi kita, sudah barang tentu terdapat demikian luas wilayah udara yang tidak termasuk menjadi bagian dari wilayah kedaulatan. Oleh karena seluruh wilayah udara di atas permukaan bumi itu harus dibagi habis menjadi FIR/UIR, sudah bisa diperkirakan bahwa banyak Negara yang akan mengurusi FIR dengan batas diluar batas wilayah kedaulatannya. Namun demikian, mengingat kemampuan Negara-negara untuk mengelola pelayanan lalu lintas udara itu tidak sama, atau karena pertimbangan lain, maka diberikan kemungkinan suatu negara mendelegasikan pengaturan lalu-lintas udaranya kepada Negara lain. Dengan adanya kemungkinan itu, apabila dibandingkan antara batas wilayah kedaulatan dengan batas wilayah penerbangan (FIR), terdapat 3 kemungkinan, yaitu:

a.      Batas FIR berimpit dengan batas wilayah kedaulatan Negara. Dalam keadaan seperti ini Negara yang bersangkutan memberikan pelayanan lalu-lintas udara pada wilayah yang sama dengan wilayah kedaulatannya.
b.      Batas FIR berada jauh diluar batas wilayah kedaulatan Negara. Dalam keadaan seperti iti Negara yang bersangkutan memberikan pelayanan lalu-lintas udara selain di wilayah kedaulatannya sendiri, juga (pada bagian tertentu) di luar wilayah kedaulatannya.
c.       Batas FIR ‘masuk’ dan berada di dalam wilayah kedaulatan Negara. Dalam keadaan seperti ini Negara yang bersangkutan memberikan pelayanan lalu-lintas udara  pada sebagian  wilayah kedaulatannya, sementara  pada bagian lain  wilayah kedaulatannya, khusus untuk pelayanan lalu-lintas udaranya didelegasikan kepada Negara lain (tetangganya).
Bagaimana dengan Indonesia pada saat ini? 

Ruang udara yang dilayani[4] meliputi:

a.   wilayah udara Republik Indonesia, selain wilayah udara yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian. Pendelegasian pelayanan navigasi penerbangan pada wilayah udara semata-mata berdasarkan alasan teknis operasional dan tidak terkait dengan kedaulatan atas wilayah udara Indonesia serta bersifat sementara;

b.   ruang udara negara lain yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada Republik Indonesia;

c.   ruang udara yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional kepada Republik Indonesia. Pendelegasian ruang udara oleh organisasi penerbangan sipil internasional ini  adalah di ruang udara di atas wilayah yang bukan merupakan teritorial suatu negara atau di atas laut bebas.
Sesuai dengan ketentuan tersebut, saat ini Indonesia memiliki 2 FIR/UIR yakni FIR Jakarta, dan FIR Makassar. Kedua FIR tersebut mencakup sebagian besar wilayah Indonesia serta wilayah udara internasional di atas Lautan Hindia, wilayah udara Pulau Christmas Australia, dan wilayah udara Timor Leste. Namun  di beberapa wilayah udara Indonesia terdapat area yang pelayanan navigasinya didelegasikan kepada negara lain, seperti di atas kepulauan Natuna dan di atas Halmahera. Sebaliknya, ada pula teritori negara lain yang pelayanan navigasinya didelegasikan kepada Indonesia, yaitu: Pulau Christmas dan sebagian teritori Oakland.

Secara keseluruhan luas FIR Indonesia sekitar  2,2 juta nautical mil persegi (sedangkan luas teritori Indonesia  1,47 juta nautical mil persegi), termasuk  FIR untuk Pulau Christmas milik Australia, wilayah Papua Niugini dan Timor Leste yang belum lama merdeka.  Artinya, pesawat Australia yang akan terbang dari Sydney ke Pulau Christmas, misalnya, melapornya harus ke Indonesia. Kenyataan tersebut menegaskan lagi bahwa masalah alur dan pengaturan penerbangan tidak sepenuhnya dikaitkan dengan kedaulatan negara.

Untuk jelasnya, gambar FIR Indonesia tersebut dapat dilihat dalam peta berikut:

Gb. 1
BATAS FIR INDONESIA BERDASARKAN ICAO RAN I 1973
DI HONOLULU DAN TERITORI BERDASARKAN PP 38 TAHUN 2002
3.      Bagaimana peraturan perundang-undanganan mengatur wilayah udara?

Berbicara tentang wilayah udara, lebih tepatnya kedaulatan Negara di ruang udara, umum diacu ketentuan Konvensi Penerbangan Sipil Internasional (Convention on International Civil Aviation) yang ditandatangani di Chicago tahun 1944.  Pasal 1 konvensi tersebut  menegaskan bahwa:              

The contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory. Sedangkan apa yang dimaksud dengan ‘territory’  itu dijelaskan dalam Pasal 2-nya yang bagi Indonesia tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945.

Konvensi Chicago 1944 memiliki 18 Annex, salah satunya yang berkaitan erat dengan pelayanan lalu lintas udara adalah Annex 11 yang berjudul Air Traffic Services. Dalam Annex tersebut diberikan kemungkinan bagi   sebuah Negara untuk mendelegasikan tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan dan pelayanan lalu lintas udara dalam wilayahnya (…….by mutual agreement, a State may delegate to another State the responsibility for establishing and providing air traffic services in flight information regions, control areas or control zones extending over the territories of the former).

Pendelegasian  penyelenggaraan pelayanan lalu-lintas udara tersebut hanya terbatas pada teknis operasional pelayanan lalu lintas udara saja. Oleh karenanya, kata Annex 11 itu, pendelegasian kewenangan seperti itu sama sekali tidak mengurangi arti kedaulatan Negara yang bersangkutan (it does so without derogation of its national sovereignty).
Atas kesepakatan Negara-negara terkait, kesepakatan pendelegasian tersebut tentu saja kapanpun dapat diakhiri (Both the delegating and providing States may terminate the agreement between them at any time).
Pengaturan tentang kedaulatan Negara di ruang udara, kita jumpai juga pada Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nation Convention on The Law of The Sea / UNCLOS), yang menegaskan sebagai berikut: [5]

 1. The sovereignty of a coastal State extends, beyond its land territory and internal waters and, in the case of an archipelagic State, its archipelagic waters, to an adjacent belt of sea, described as the territorial sea.

2.   This sovereignty extends to the air space over the territorial sea as well as to its bed and subsoil.

3.   the sovereignty over the territorial sea is exercised subject to this Convention and to other rules of international law.

Konvensi yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on the law of the sea ini membawa pengaruh sangat besar bagi Indonesia. Perairan Natuna dan Riau yang awalnya merupakan perairan Internasional berubah menjadi perairan milik Indonesia. Dengan kata lain, wilayah udara yang ada diatasnya pun termasuk kedalam wilayah Indonesia. FIR Singapura yang mencakup kedua wilayah perairan tersebut pun semakin dipertimbangkan karena dianggap telah menyentuh kedaulatan.

Dalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia peraturan lain yang mengatur  tentang kedaulatan Negara Indonesia di ruang udara dapat kita temukan antara lain pada Undang-Undang Nomor 6/1996 ttg Perairan Indonesia  Undang-Undang Nomor   43/2008 ttg Wilayah Negara,  Undang-Undang Penerbangan (sekarang UU Nomor 1 Tahun 2009) serta peraturan pelaksanaannya. Salah satunya adalah adalah PP Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan. Peraturan pelaksanaan yang lain yang tidak begitu banyak diketahui adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan Yang Ditetapkan, sebagai peraturan pelaksanaan UU No. 6 Tahun 1996.

Dalam PP No. 37/2002 antara lain diatur:

a.      Kapal dan pesawat udara asing dapat melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, untuk pelayaran atau penerbangan dari satu bagian laut bebas atau zona ekonomi eksklusif ke bagian lain laut bebas atau zona ekonomi eksklusif melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia. (Pasal 2);

b.      Pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan melalui alur laut atau melalui udara di atas alur laut yang ditetapkan sebagai alur laut kepulauan yang dapat digunakan untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 11.  (Pasal 3 ayat 1);

c.       Pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini di bagian-bagian lain Perairan Indonesia dapat dilaksanakan setelah di bagian-bagian lain tersebut ditetapkan alur laut kepulauan yang dapat digunakan untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tersebut. (Pasal 3 ayat 2);

d.      Kapal dan pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus melintas secepatnya melalui atau terbang di atas alur laut kepulauan dengan cara normal, semata-mata untuk melakukan transit yang terus-menerus, langsung, cepat, dan tidak terhalang. (Pasal 4 ayat 1);

e.      Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan, selama melintas tidak boleh menyimpang lebih dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke kedua sisi dari garis sumbu alur laut kepulauan, dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari 10 % (sepuluh per seratus) jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut kepulauan tersebut. (Pasal 4 ayat 2).
 Bersambung……………….

[1] Media Indonesia edisi Selasa 20 Maret 2012.
[2] FIR = An airspace of defined dimensions within which flight information service and alerting service are provided. (Annex 11: ATS, Ch. 1)
     FIR adalah suatu ruang udara yang ditetapkan dimensinya dan didalamnya terdapat Flight Information Service dan Alerting Service. Flight Information Service adalah pelayanan yang dibentuk dan dipersiapkan untuk memberikan saran dan informasi secara penuh untuk keselamatan dan efisiensi penebangan. Alerting Service adalah pelayanan yang diberikan kepada organisasi yang berkaitan dengan pesawat terbang/ penerbangan yang membutuhkan pertolongan dan dan membantu organisasi yang membutuhkan bantuan pencarian dan pertolongan
[3]   An airspace of defined dimensions within which flight information service and alerting service are provided. (Annex 11: ATS, Ch. 1)
[4] Pasal 262 UU No. 1/2009
[5]  Art. 2 (UNCLOS 1982).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar dan masukannya/Thank you for commenting