Sabtu, 12 Mei 2012

Transportasi
Disusun oleh:
MASYARAKAT PEDULI PENERBANGAN SIPIL (MPPS)

Dalam kehidupan manusia sebagai mahluk sosial yang selalu membutuhkan interaksi antara manusia dan antara manusia dengan alam sekitarnya maka komunikasi (serta telekomunikasi) dan transportasi menjadi kebutuhan.

Sebagai mahluk sosial kadangkala pemenuhan kebutuhan telekomunikasi saja telah mencukupi, namum kadangkala kehadiran secara phisik menjadi sangat penting dalam kegiatan interaksi sosial maka disanalah kebutuhan transportasi berperan.
Kualitas berkomunikasi dan transportasi berpengaruh kepada hasil akhir dalam pemenuhan kebutuhan sosial manusia serta keadaan alam sekitarnya.
Berkaitan dengan telekomunikasi dan transportasi, maka kami mencoba akan menyajikan beberapa tulisan bersambung melalui blog ini dan sebagai awalnya akan disampaikan beberapa tulisan berkaitan dengan transportasi udara khususnya keselamatan transportasi udara.
Terimkasih atas komentar serta masukan dan mudah-mudahan penyajian ini dapat menambah wawasan kita semua.
THE UNIVERSAL SAFETY OVERSIGHT AUDIT PROGRAMME
The Universal Safety Oversight Audit Programme bersumber dari Resolusi Assembley A29-13 (Improvement of Safety Oversight yang diadopsi pada tahun 1992 pada  Sidang ke-29 dari  International Civil Aviation Organization Assembly. Resolusi ini antara lain mengandung  keprihatinan bahwa beberapa negara anggota ICAO kemungkinan mempunyai kendala melaksanakan kewajibannya dalam pengawasan keselamatan, menegaskan kembali bahwa merupakan kewajiban setiap negara untuk melakukan pengawasan keselamatan merupakan salah satu prinsip dari Konvensi Chicago, serta meminta Negara-Negara untuk menyediakan sumber daya teknis dan keuangan sehingga memungkinkan negara lain dapat melaksanakan tanggung jawab mereka dalam pengawasan keselamatan operasi angkutan udara. 
TAHAPAN ICAO USOAP
Tahap pertama dari program ini diluncurkan pada tahun 1996 atas dasar sukarela.
Pada tanggal 10 hingga 12 November 1997, para Direktur Jenderal Perhubungan Udara (DGCAs) bertemu di Montreal Kanada pada konferensi sedunia tentang Global Strategy for Safety Oversight untuk pertama kali. Konferensi ini menegaskan kembali bahwa perlunya pengawasan keselamatan penerbangan, merumuskan perbaikan program pengawasan keamanan ICAO serta  merumuskan strategi global bagi pengawasan keselamatan penerbangan berdasarkan langkah-langkah praktis dan konkret agar suatu sistem pengawasan keselamatan penerbangan yang efektif dapat dilaksanakan oleh setiap negara, yang sesuai dengan ketentuan ICAO.
Keberhasilan awal dari program ini membawa Sidang Majelis ICAO ke-32, diselenggarakan pada tahun 1998, untuk mendukung peningkatan program ini dan menyediakan dana yang diperlukan, sehingga membangun Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) yang terdiri reguler, wajib, audit keselamatan yang sistematis dan harmonis perlu dilakukan oleh ICAO, termasuk pelaporan yang sistematis dan mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan Standards and Recommended Practices yang terkait dengan keselamatan, yang berhubungan dengan prosedur, arahan materi dan praktek (Resolusi A32-11). ICAO USOAP diluncurkan pada Januari 1999, menggantikan program sukarela.
Ruang lingkup kelanjutan program ini khusus pada awalnya terbatas pada Annex 1 (Personnel Licensing), Annex 6 (Operation of Aircraft) dan Annex 8 (Airworthiness of Aircraft). Pada sidang  Assembley ke-33 pada tahun 2001, Resolusi A33-8 mendukung kelanjutan dan perluasan Universal Safety Oversight Audit Programme untuk menyediakan sampul Annex 11 (Air Traffic Services), Annex 13 (Aircraft Accident and Incident Investigation) dan Annex 14 (Aerodromes).
Pada Sidang Majelis ke-35 yang diadakan pada tahun 2005, Resolusi A35-6 meminta agar USOAP yang selanjutnya dapat diperluas untuk menyertakan semua yang terkait dengan ketentuan keselamatan penerbangan dalam semua Annex dari Konvensi Penerbangan Sipil Internasional,  sehingga merupakan suatu pendekatan pengawasan yang komprehensif dari satu Annex ke Annex lainnya. Pendekatan sistem yang komprehensif dalam pelaksanaan audit (Comprehensive System Approach = CSA), dilaksanakan dalam periode enam tahun dan rencananya akan berakhir pada tahun 2010.
Pada tanggal 20-22 Mei 2006 para Direktur Jenderal Penerbangan Sipil bertemu di Montreal, Kanada pada Conference on a Global Strategy for Aviation Safety (DGCA/06). Selama konferensi ini, para Direktur Jenderal dari 189 Negara Anggota ICAO melakukan penilaian atas status keselamatan penerbangan, mengidentifikasi cara untuk mencapai perbaikan yang signifikan dan mengembangkan kerangka kerja keselamatan untuk abad 21 - Global Strategy for Aviation Safety – dengan cara yang asertive, terkoordinasi dan transparan. Disepakati juga untuk menyampaikan hasil dari Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) pada situs publiknya ICAO. Pertemuan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara ini dihadiri oleh 566 peserta dari 153 Negara Anggota dan 26 organisasi internasional.
Resolusi Assembley ICAO A36-4 (September 2007) menyusun suatu pendekatan baru untuk diterapkan dalam USOAP sesudah tahun 2010 yang berdasarkan pada konsep pendekatan pemantauan terus menerus (concept of a continuous monitoring approach)., Tujuan dari USOAP setelah tahun 2010 adalah untuk  mempromosikan keselamatan penerbangan global, dengan meningkatkan kemampuan pengawasan keselamatan dari Negara Anggota, melalui pemantauan terus menerus kinerja keselamatan dari tiap negara anggota dalam rangka mengidentifikasi kekurangan dalam keselamatan, menilai risiko terkait keselamatan, menerapkan strategi untuk mitigasi dan meninjau tingkat pencapaian kemampuan pengawasan keselamatan dari negara anggota.
UPAYA INTERNATIONAL
Pentingnya pelaksanaan USOAP beberapa upaya dari negara tertentu baik secara bersama-sama maupun individual mengadopsi ICAO USOAP menjadi bagian peningkatan serta persyaratan tanggung-jawab negara anggota pada pelaksanaan pengawasan keselamatan penerbangan.
Uni Eropa menerbitkan dan memberlakukan  peraturan REGULATION (EC) No 2111/2005 OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE COUNCIL of 14 December 2005 on the establishment of a Community list of air carriers subject to an operating ban within the Community and on informing air transport passengers of the identity of the operating air carrier, and repealing Article 9 of Directive 2004/36/EC.
Peraturan diatas memberikan pembatasan kepada maskapai penerbangan dari semua negara anggota ICAO yang pelaksanaan pengawasan keselamatan penerbangan belum dapat memenuhi kriteria minimum seperti yang disyaratkan oleh ICAO.
Kementerian Perhubungan (DOT) Amerika Serikat memberlakukan kebijaksan 57 FR 38342, August 24, 1992, menjelaskan bagaimana caranya Amerika melakukan penilaian kepada Otoritas Penerbangan Sipil negara lain telah dapat memenuhi persyaratan standar minimun pengawasan keselamatan penerbangan seperti yang oleh ICAO. Semaunya berkaitan dengan bagaimana negara anggota menjalankan fungsi pegawasan keselamatan penerbangan, terutama berkaitan dengan personil, pengoperasian serta kelaik-udaraan pesawat terbang yang didaftar di negara anggota.
Dari Kebijaksanaan 57 FR 38342 tersebut keluar daftar Category 1 bagi Otoritas Penerbangan Sipil yang telah dapat memenuhi persyaratan minimum, Category 2 bagi yang belum dapat memenuhi. 
HASIL PELAKSANAAN USOAP (hingga tahun 2010)

Seperti telah disebutkan bahwa program pengawasan keselamatan penerbangan dimulai pada tahun 1996 yaitu program penilaian (assessment) atas dasar sukarela dari negara anggota.
Dari program asesmen diungkapkan bahwa banyak negara menghadapi kesulitan serius dalam memenuhi kewajiban pengawasan keselamatan mereka. Penyebab paling umum atas kekurangan ini adalah bahwa negara anggota tidak dapat menyediakan sumber daya yang memadai untuk tugas itu. Empat kategori  kekurangan itu meliputi:  undang-undang / peraturan penerbangan; struktur kelembagaan; teknisi penerbangan yang berkualitas, dan sumber daya keuangan.
ICAO melaporkan bahwa selama kegiatan audit periode (initial cycle) tahun 1999 – 2004 dari 161 negara anggota sebanyak 5% tidak melaksanakan USOAP dan 13% tidak melaporkan hasil auditnya (tidak bersedia hasil auditnya dilaporkan). Negara yang telah melakukan kegiatan ini seperti ditulis pada tabel disamping ini.
Berdasarkan hasil tersebut maka berdasarkan hasil sidang assembly tahun 1999 diterima Resolusi A32-11 Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) yang bersifat reguler, wajib, audit keselamatan yang sistematis dan harmonis.
Kegiatan audit dalam rangka USOAP yang diperluas periode 2005 – 2010 telah dilaksanakan audit kepada 177 negara dan semua negara telah bersedia untuk hasil auditnya diketahui oleh negara anggota lainnya .
Hasil USOAP periode 2005 – 2010 inilah yang oleh Amerika dan Uni Eropa mengakibatkan beberapa larangan terbang (memasuki wilayah udara) bagi sejumlah perusahaan penerbangan / operator pesawat terbang karena kemampuan pengawasan keselamatan penerbangan dari beberapa negara telah dinilai belum memenuhi persyaratan minimum ICAO.
BAGAIMANAKAH INDONESIA MENJALANKAN USOAP?
Seperti diketahui bahwa pada tahun audit pengawasan keselamatan penerbangan yang ditujukan kepada perusahaan penerbangan di negara anggota dilakukan pada tahun 1996 berdasarkan hasil sidang ICAO ke-29 dimana ketika itu bersifat sukarela (voluntary basis). Apakah Indonesia telah melaksanakannya tidak ditemukan informasi yang mengindikasikan Indonesia menjalankan kegiatan tersebut.
Audit pengawasan keselamatan penerbangan di Indonesia dilaksanakan pada tanggal 6 hingga 15 November 2000 mengacu kesepakatan dengan ICAO yang dituangkan melalui MoU yang disepakati pada tanggal 30 Agustus 2000 (initial cycle), yang meliputi  Annex 1, Annex 6 dan Annex 8.
Dari hasil audit tersebut Indonesia maka pada tanggal 18 Januari 2001 telah mengirimkan action plan  atas finding dan rekomendasi laporan interim kepada ICAO dan setelah dilakukan evaluasi oleh Safety Audit Oversight Section.
Pada tanggal 13 hingga 15 January 2004, ICAO melakukan Safety Oversight Audit Follow-up dan dalam laporannya disampaikan beberapa catatan, yang sifatnya menjelaskan bahwa beberapa peryaratan telah sesuai dengan ICAO, namun beberapa lainnya masih bersifat “open items”. Apakah selanjutnya “open items” tersebut telah diselesaikan maka hanya Direktorat Jenderal Perhubungan Udara / Departemen Perhubungan dan Komunikasi (ketika itu) adalah instansi yang mengetahui karena Indonesia tidak memberi ijin kepada ICAO menyampaikan hasil audit (consent State).
Seperti telah disepakati antara ICAO dengan negara anggota, maka untuk pelaksanaan USOAP perlu ditandatangani MoU, dan pada 28 April 2006 Direktorat Jenderal Perhubungan Udara menandatangani kesepakatan pemahaman dimaksud. Selanjutnya pelaksanaan audit pengawasan keselamatan penerbangan yang meliputi Annex 1, 6, 8, 11, 13 dan 14 dilaksanakan pada 6 hingga 15 Februari 2007 (CSA audit cycle) oleh enam auditor ICAO.
Kurang lebih sembilan bulan kemudian ICAO menyampaikan laporan akhir audit dan yang mengindikasikan beberapa catatan dimana Indonesia masih belum sepenuhnya dapat memenuhi persyaratan pengawasan keselamatan penerbangan yang diamanatkan konvensi Chicago.
Adapun catatan hasil audit meliputi,  primary lagislation / regulations, civil aviation organisations, personnel licensing and training, aircraft operation certificationand supervisions, airworthiness of aircraft, aircraft accident and incident investigations, air navigation services, dan aerodrome.
Sebagai institusi negara yang bertanggung-jawab pada pengawasan keselamatan penerbangan di Indonesia maka Direktorat Jenderal Perhubungan Udara telah melakukan upaya perbaikan-baikan atas hasil audit tersebut dengan telah menyampaikan rencana-aksi.
Salah satu upaya keras yang telah dilakukan oleh Kementerian Perhubungan adalah melakukan penyesuaian (pembaharuan) undang-undang penerbangan UU. No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang mencoba untuk melakukan pengaturan serta pengawasan keselamatan penerbangan sipil semaksimal mungkin. Selain itu peraturan keselamatan penerbangan sipil yang telah ada disesuaikan dan menerbitkan peraturan baru, utamanya berkaitan dengan Annex 1, 11, 13 dan 14.
Pada 4 – 7 Agustus 2009 ICAO melakukan validasi atas rencana-aksi Indonesia dan hasilnya telah di publikasi melalui ICAO web. Dan dari sana tampak bahwa sesungguhnya program pengawasan keselamatan penerbangan yang dilakukan Indonesia sudah cukup baik diatas rata-rata persyaratan.
Namun bila memperthatikan kebijakan yang dilakukan oleh EU dan FAA hingga tahun 2012 pesawat terbang yang didaftarkan di Indonesia (state registered aircraft) masih belum dapat beroperasi diruang udara negara-negara tersebut, hal itu perlu dicari tahu penyebabnya. Jika membaca kebijaksanaan FAA maka Indonesia digolongkan sebagai negara yang fungsi pengawasan keselamatan penerbangannya masih berada dibawah persyaratan minimum ICAO. Dikawasan ASEAN ada dua negara yang masuk Category 2, yaitu Filipina dan Indonesia.
Upaya Yang Perlu Dilakukan Oleh Indonesia.
Setelah terhenyak dengan kebijaksanaan larangan terbang negara-negara Eropa dan FAA tahun 2007, semua pihak (wartawan, pejabat pemerintah, anggota dewan dan kalangan industri) ditanah air memberikan komenar dan pendapatnya masing-masing, namun tetap saja kepercayaan tersebut hilang.  Dengan diijinkannya Garuda Indonesia memasuki wilayah Eropa sepertinya masalah keselamatan penerbangan di Indonesia sudah sesuai dengan ICAO, tetapi ternyata tidak seperti itu.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perhubungan kiranya perlu menimbang untuk melakukan pengkajian atas UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan secara terbuka dengan melibatkan banyak pihak serta mencoba memperhatikan undang-undang sejenis dari negara-negara sekitar Indonesia misalnya, Singapura, Malaysia dan Sri Lanka. Graphik pada bagian akhir memberikan informasi awal bagaimana posisi Indonesia diantara ketiga negara sekitar.
Apabila Pemerintah melakukan kajian terhadap undang-undang maupun peraturan yang lebih rendah terkait dengan penerbangan maka perlu memperhatikan undang-undang 1] yang ada terakait dengan penggunaan Bahasa Indonesia. Hal ini penting agar seleras dengan Konvensi Chicago.
Fungsi dan tugas pokok Direktorat Jenderal Perhubungan Udara perlu disesuaikan dengan memisahkan fungsi regulasi dan pengawasan keselamatan dari fungsi-fungsi lain yang ada selama ini, dengan harapan fungsi pelaksanaan pengawasan keselamatan penerbangan menjadi lebih fokus.
Fungsi pegawasan dan regulasi harus memperhatikan fokus keselamatan penerbangan seperti yang dipersyaratkan ICAO seperti mengacu fokus kegiatan USOAP, Pembinaan kempetensi melalui pengawasan penerapan sistem pemberian lisensi (Annex 1), pembinaan kesiapan pengoperasian pesawat udara melalui pengawasan atas kelaik-udaraan dan pengoperasian pesawat udara (Annex 6 dan Annex 8), pembinaan pengawasan atas pelayanan navigasi penerbangan di ruang udara (Annex 11), pembinaan pengawasan investigasi atas kecelakaan transportasi udara ringan dan berat (Annex 13), pembinaan pengawasan keselamatan navigasi penerbangan di aerodrome (Annex 14).
Indonesia harus lebih aktif mempelajari dan berkomunikasi dengan ICAO atas rencana kebijakan (terutama terkait dengan keselamatan penerbangan) melalui penyampaian adanya perbedaan aturan jika ada) seperti yang diatur dalam satu pasal Konvesi Chicago2]
Direktoran Jenderal Perhubungan Udara perlu memperlihatkan komitmen yang sungguh-sungguh kepada ICAO serta Otoritas keselamatan penerbangan negara-negara lain, atas implementasi semua legislasi dan regulasi keselamatan penerbangan yang sudah diberlakukan.
1] UU  No.24 Tahun 2009
2] ICAO Doc 7300 Article 38


1 komentar:

  1. Informasi kaya gini yang ogut pengen..... MPPS tambah lagi informasinya
    Slamet atas blog nya

    BalasHapus

Terimakasih atas komentar dan masukannya/Thank you for commenting