Transportasi
Disusun oleh:
MASYARAKAT PEDULI PENERBANGAN SIPIL (MPPS)
Dalam kehidupan manusia sebagai mahluk sosial
yang selalu membutuhkan interaksi antara manusia dan antara manusia dengan alam
sekitarnya maka komunikasi (serta telekomunikasi) dan transportasi menjadi
kebutuhan.
Sebagai mahluk sosial kadangkala pemenuhan
kebutuhan telekomunikasi saja telah mencukupi, namum kadangkala kehadiran
secara phisik menjadi sangat penting dalam kegiatan interaksi sosial maka
disanalah kebutuhan transportasi berperan.
Kualitas berkomunikasi dan transportasi
berpengaruh kepada hasil akhir dalam pemenuhan kebutuhan sosial manusia serta
keadaan alam sekitarnya.
Berkaitan dengan telekomunikasi dan transportasi,
maka kami mencoba akan menyajikan beberapa tulisan bersambung melalui blog ini
dan sebagai awalnya akan disampaikan beberapa tulisan berkaitan dengan
transportasi udara khususnya keselamatan transportasi udara.
Terimkasih atas komentar serta masukan dan
mudah-mudahan penyajian ini dapat menambah wawasan kita semua.
THE UNIVERSAL SAFETY OVERSIGHT AUDIT PROGRAMME
The Universal Safety Oversight Audit Programme bersumber dari Resolusi Assembley A29-13 (Improvement of Safety Oversight yang diadopsi pada tahun 1992 pada Sidang
ke-29 dari International Civil Aviation Organization Assembly. Resolusi ini antara lain mengandung keprihatinan bahwa beberapa negara anggota ICAO
kemungkinan mempunyai kendala melaksanakan kewajibannya dalam pengawasan keselamatan,
menegaskan kembali bahwa merupakan kewajiban setiap negara untuk melakukan pengawasan
keselamatan merupakan salah satu prinsip dari Konvensi Chicago, serta meminta
Negara-Negara untuk menyediakan sumber daya teknis dan keuangan sehingga memungkinkan
negara lain dapat melaksanakan tanggung jawab mereka dalam pengawasan
keselamatan operasi angkutan udara.
TAHAPAN ICAO USOAP
Tahap pertama dari program ini diluncurkan pada tahun 1996 atas dasar
sukarela.
Pada tanggal 10 hingga 12 November 1997, para Direktur Jenderal Perhubungan
Udara (DGCAs) bertemu di Montreal Kanada pada konferensi sedunia tentang Global
Strategy for Safety Oversight untuk pertama kali.
Konferensi ini menegaskan kembali bahwa perlunya pengawasan keselamatan
penerbangan, merumuskan perbaikan program pengawasan keamanan ICAO serta merumuskan strategi global bagi pengawasan
keselamatan penerbangan berdasarkan langkah-langkah praktis dan konkret agar suatu
sistem pengawasan keselamatan penerbangan yang efektif dapat dilaksanakan oleh
setiap negara, yang sesuai dengan ketentuan ICAO.
Keberhasilan awal dari program ini membawa Sidang Majelis ICAO ke-32,
diselenggarakan pada tahun 1998, untuk mendukung peningkatan program ini dan
menyediakan dana yang diperlukan, sehingga membangun Universal Safety
Oversight Audit Programme (USOAP)
yang terdiri reguler, wajib, audit keselamatan yang sistematis dan harmonis perlu
dilakukan oleh ICAO, termasuk pelaporan yang sistematis dan mekanisme
pengawasan terhadap pelaksanaan Standards and Recommended Practices yang terkait dengan keselamatan, yang
berhubungan dengan prosedur, arahan materi dan praktek (Resolusi A32-11). ICAO USOAP
diluncurkan pada Januari 1999, menggantikan program sukarela.
Ruang lingkup kelanjutan program ini khusus pada awalnya terbatas pada Annex 1 (Personnel Licensing), Annex 6 (Operation of
Aircraft) dan Annex 8 (Airworthiness of Aircraft). Pada sidang Assembley ke-33 pada
tahun 2001, Resolusi A33-8 mendukung kelanjutan dan perluasan Universal Safety Oversight Audit
Programme untuk menyediakan
sampul Annex 11 (Air Traffic Services), Annex 13 (Aircraft Accident and Incident Investigation) dan Annex 14 (Aerodromes).
Pada Sidang Majelis ke-35 yang diadakan pada tahun 2005, Resolusi A35-6
meminta agar USOAP yang selanjutnya dapat diperluas untuk menyertakan semua
yang terkait dengan ketentuan keselamatan penerbangan dalam semua Annex dari
Konvensi Penerbangan Sipil Internasional, sehingga merupakan suatu pendekatan pengawasan
yang komprehensif dari satu Annex ke Annex lainnya. Pendekatan sistem yang
komprehensif dalam pelaksanaan audit (Comprehensive System Approach = CSA),
dilaksanakan dalam periode enam tahun dan rencananya akan berakhir pada tahun
2010.
Pada tanggal 20-22 Mei 2006 para Direktur Jenderal Penerbangan Sipil
bertemu di Montreal, Kanada pada Conference on a Global Strategy for Aviation
Safety (DGCA/06). Selama konferensi ini, para Direktur Jenderal
dari 189 Negara Anggota ICAO melakukan penilaian atas status keselamatan
penerbangan, mengidentifikasi cara untuk mencapai perbaikan yang signifikan dan
mengembangkan kerangka kerja keselamatan untuk abad 21 - Global Strategy for Aviation Safety – dengan cara yang asertive,
terkoordinasi dan transparan. Disepakati juga untuk menyampaikan hasil dari Universal Safety Oversight Audit
Programme (USOAP) pada situs
publiknya ICAO. Pertemuan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara ini dihadiri
oleh 566 peserta dari 153 Negara Anggota dan 26 organisasi internasional.
Resolusi Assembley ICAO A36-4 (September 2007) menyusun suatu pendekatan
baru untuk diterapkan dalam USOAP sesudah tahun 2010 yang berdasarkan pada
konsep pendekatan pemantauan terus menerus (concept of a continuous
monitoring approach)., Tujuan dari
USOAP setelah tahun 2010 adalah untuk mempromosikan
keselamatan penerbangan global, dengan meningkatkan kemampuan pengawasan
keselamatan dari Negara Anggota, melalui pemantauan terus menerus kinerja
keselamatan dari tiap negara anggota dalam rangka mengidentifikasi kekurangan dalam
keselamatan, menilai risiko terkait keselamatan, menerapkan strategi untuk mitigasi
dan meninjau tingkat pencapaian kemampuan pengawasan keselamatan dari negara
anggota.
UPAYA INTERNATIONAL
Pentingnya pelaksanaan USOAP beberapa upaya dari negara tertentu baik
secara bersama-sama maupun individual mengadopsi ICAO USOAP menjadi bagian
peningkatan serta persyaratan tanggung-jawab negara anggota pada pelaksanaan
pengawasan keselamatan penerbangan.
Uni Eropa menerbitkan dan memberlakukan
peraturan REGULATION (EC) No
2111/2005 OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE COUNCIL of 14 December 2005 on
the establishment of a Community list of air carriers subject to an operating
ban within the Community and on informing air transport passengers of the
identity of the operating air carrier, and repealing Article 9 of Directive
2004/36/EC.
Peraturan diatas memberikan pembatasan kepada maskapai penerbangan dari
semua negara anggota ICAO yang pelaksanaan pengawasan keselamatan penerbangan
belum dapat memenuhi kriteria minimum seperti yang disyaratkan oleh ICAO.
Kementerian Perhubungan (DOT) Amerika Serikat memberlakukan kebijaksan 57 FR 38342, August 24, 1992, menjelaskan bagaimana caranya Amerika
melakukan penilaian kepada Otoritas Penerbangan Sipil negara lain telah dapat
memenuhi persyaratan standar minimun pengawasan keselamatan penerbangan seperti
yang oleh ICAO. Semaunya berkaitan dengan bagaimana negara anggota menjalankan
fungsi pegawasan keselamatan penerbangan, terutama berkaitan dengan personil,
pengoperasian serta kelaik-udaraan pesawat terbang yang didaftar di negara
anggota.
Dari Kebijaksanaan 57 FR 38342 tersebut keluar daftar Category 1 bagi
Otoritas Penerbangan Sipil yang telah dapat memenuhi persyaratan minimum,
Category 2 bagi yang belum dapat memenuhi.
HASIL PELAKSANAAN USOAP
(hingga tahun 2010)
Seperti telah disebutkan bahwa program pengawasan keselamatan penerbangan
dimulai pada tahun 1996 yaitu program penilaian (assessment) atas dasar sukarela
dari negara anggota.
Dari program asesmen diungkapkan bahwa banyak negara menghadapi kesulitan
serius dalam memenuhi kewajiban pengawasan keselamatan mereka. Penyebab paling
umum atas kekurangan ini adalah bahwa negara anggota tidak dapat menyediakan
sumber daya yang memadai untuk tugas itu. Empat kategori kekurangan itu meliputi: undang-undang / peraturan penerbangan;
struktur kelembagaan; teknisi penerbangan yang berkualitas, dan sumber daya
keuangan.
ICAO melaporkan bahwa selama kegiatan audit
periode (initial cycle) tahun 1999 – 2004 dari 161 negara anggota sebanyak 5%
tidak melaksanakan USOAP dan 13% tidak melaporkan hasil auditnya (tidak
bersedia hasil auditnya dilaporkan). Negara yang telah melakukan kegiatan ini
seperti ditulis pada tabel disamping ini.
Berdasarkan hasil tersebut maka berdasarkan hasil sidang assembly tahun
1999 diterima Resolusi
A32-11 Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) yang bersifat reguler, wajib, audit
keselamatan yang sistematis dan harmonis.
Kegiatan audit dalam rangka USOAP yang diperluas periode 2005 – 2010 telah
dilaksanakan audit kepada 177 negara dan semua negara telah bersedia untuk
hasil auditnya diketahui oleh negara anggota lainnya .
Hasil USOAP periode 2005 – 2010 inilah yang oleh Amerika dan Uni Eropa
mengakibatkan beberapa larangan terbang (memasuki wilayah udara) bagi sejumlah
perusahaan penerbangan / operator pesawat terbang karena kemampuan pengawasan
keselamatan penerbangan dari beberapa negara telah dinilai belum memenuhi
persyaratan minimum ICAO.
BAGAIMANAKAH INDONESIA
MENJALANKAN USOAP?
Seperti diketahui bahwa pada tahun audit pengawasan keselamatan penerbangan
yang ditujukan kepada perusahaan penerbangan di negara anggota dilakukan pada
tahun 1996 berdasarkan hasil sidang ICAO ke-29 dimana ketika itu bersifat
sukarela (voluntary basis). Apakah Indonesia telah melaksanakannya tidak
ditemukan informasi yang mengindikasikan Indonesia menjalankan kegiatan
tersebut.
Audit pengawasan keselamatan penerbangan di Indonesia dilaksanakan pada
tanggal 6 hingga 15 November 2000 mengacu kesepakatan dengan ICAO yang
dituangkan melalui MoU yang disepakati pada tanggal 30 Agustus 2000 (initial cycle), yang meliputi Annex 1, Annex 6 dan Annex 8.
Dari hasil audit tersebut Indonesia maka pada tanggal 18 Januari 2001 telah
mengirimkan action plan atas finding dan
rekomendasi laporan interim kepada ICAO dan setelah dilakukan evaluasi oleh
Safety Audit Oversight Section.
Pada tanggal 13 hingga 15 January 2004, ICAO melakukan Safety Oversight Audit Follow-up dan dalam laporannya disampaikan
beberapa catatan, yang sifatnya menjelaskan bahwa beberapa peryaratan telah
sesuai dengan ICAO, namun beberapa lainnya masih bersifat “open items”. Apakah
selanjutnya “open items” tersebut telah diselesaikan maka hanya Direktorat
Jenderal Perhubungan Udara / Departemen Perhubungan dan Komunikasi (ketika itu)
adalah instansi yang mengetahui karena Indonesia tidak memberi ijin kepada ICAO
menyampaikan hasil audit (consent State).
Seperti telah disepakati antara ICAO dengan negara anggota, maka untuk
pelaksanaan USOAP perlu ditandatangani MoU, dan pada 28 April 2006 Direktorat
Jenderal Perhubungan Udara menandatangani kesepakatan pemahaman dimaksud.
Selanjutnya pelaksanaan audit pengawasan keselamatan penerbangan yang meliputi
Annex 1, 6, 8, 11, 13 dan 14 dilaksanakan pada 6 hingga 15 Februari 2007 (CSA audit cycle) oleh enam auditor ICAO.
Kurang lebih sembilan bulan kemudian ICAO menyampaikan laporan akhir audit
dan yang mengindikasikan beberapa catatan dimana Indonesia masih belum
sepenuhnya dapat memenuhi persyaratan pengawasan keselamatan penerbangan yang
diamanatkan konvensi Chicago.
Adapun catatan hasil audit meliputi,
primary lagislation / regulations, civil aviation organisations, personnel
licensing and training, aircraft operation certificationand supervisions, airworthiness
of aircraft, aircraft accident and incident investigations, air navigation
services, dan aerodrome.
Sebagai institusi negara yang bertanggung-jawab pada pengawasan keselamatan
penerbangan di Indonesia maka Direktorat Jenderal Perhubungan Udara telah
melakukan upaya perbaikan-baikan atas hasil audit tersebut dengan telah
menyampaikan rencana-aksi.
Salah satu upaya keras yang telah dilakukan oleh Kementerian Perhubungan
adalah melakukan penyesuaian (pembaharuan) undang-undang penerbangan UU. No. 1
Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang mencoba untuk melakukan pengaturan serta
pengawasan keselamatan penerbangan sipil semaksimal mungkin. Selain itu
peraturan keselamatan penerbangan sipil yang telah ada disesuaikan dan
menerbitkan peraturan baru, utamanya berkaitan dengan Annex 1, 11, 13 dan 14.
Pada 4 – 7 Agustus 2009 ICAO melakukan validasi atas rencana-aksi Indonesia
dan hasilnya telah di publikasi melalui ICAO web. Dan dari sana tampak bahwa
sesungguhnya program pengawasan keselamatan penerbangan yang dilakukan
Indonesia sudah cukup baik diatas rata-rata persyaratan.
Namun bila memperthatikan kebijakan yang dilakukan oleh EU dan FAA hingga
tahun 2012 pesawat terbang yang didaftarkan di Indonesia (state registered aircraft) masih belum dapat beroperasi diruang
udara negara-negara tersebut, hal itu perlu dicari tahu penyebabnya. Jika
membaca kebijaksanaan FAA maka Indonesia digolongkan sebagai negara yang fungsi
pengawasan keselamatan penerbangannya masih berada dibawah persyaratan minimum
ICAO. Dikawasan ASEAN ada dua negara yang masuk Category 2, yaitu Filipina dan
Indonesia.
Upaya Yang Perlu Dilakukan
Oleh Indonesia.
Setelah terhenyak dengan kebijaksanaan larangan terbang negara-negara Eropa
dan FAA tahun 2007, semua pihak (wartawan, pejabat pemerintah, anggota dewan
dan kalangan industri) ditanah air memberikan komenar dan pendapatnya
masing-masing, namun tetap saja kepercayaan tersebut hilang. Dengan diijinkannya Garuda Indonesia memasuki
wilayah Eropa sepertinya masalah keselamatan penerbangan di Indonesia sudah
sesuai dengan ICAO, tetapi ternyata tidak seperti itu.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perhubungan kiranya perlu menimbang
untuk melakukan pengkajian atas UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan secara
terbuka dengan melibatkan banyak pihak serta mencoba memperhatikan
undang-undang sejenis dari negara-negara sekitar Indonesia misalnya, Singapura,
Malaysia dan Sri Lanka. Graphik pada bagian akhir memberikan informasi
awal bagaimana posisi Indonesia diantara ketiga negara sekitar.
Apabila Pemerintah melakukan kajian terhadap undang-undang maupun peraturan
yang lebih rendah terkait dengan penerbangan maka perlu memperhatikan
undang-undang 1]
yang ada terakait dengan penggunaan Bahasa Indonesia. Hal ini penting agar
seleras dengan Konvensi Chicago.
Fungsi dan tugas pokok Direktorat Jenderal Perhubungan Udara perlu
disesuaikan dengan memisahkan fungsi regulasi dan pengawasan keselamatan dari
fungsi-fungsi lain yang ada selama ini, dengan harapan fungsi pelaksanaan
pengawasan keselamatan penerbangan menjadi lebih fokus.
Fungsi pegawasan dan regulasi harus memperhatikan fokus keselamatan
penerbangan seperti yang dipersyaratkan ICAO seperti mengacu fokus kegiatan
USOAP, Pembinaan kempetensi melalui pengawasan penerapan sistem pemberian
lisensi (Annex 1), pembinaan kesiapan pengoperasian pesawat udara melalui
pengawasan atas kelaik-udaraan dan pengoperasian pesawat udara (Annex 6 dan
Annex 8), pembinaan pengawasan atas pelayanan navigasi penerbangan di ruang
udara (Annex 11), pembinaan pengawasan investigasi atas kecelakaan transportasi
udara ringan dan berat (Annex 13), pembinaan pengawasan keselamatan navigasi
penerbangan di aerodrome (Annex 14).
Indonesia harus lebih aktif mempelajari dan berkomunikasi dengan ICAO atas rencana
kebijakan (terutama terkait dengan keselamatan penerbangan) melalui penyampaian
adanya perbedaan aturan jika ada) seperti yang diatur dalam satu pasal Konvesi Chicago2]
Direktoran Jenderal Perhubungan Udara perlu memperlihatkan komitmen yang
sungguh-sungguh kepada ICAO serta Otoritas keselamatan penerbangan
negara-negara lain, atas implementasi semua legislasi dan regulasi keselamatan
penerbangan yang sudah diberlakukan.
1] UU No.24 Tahun 2009
2] ICAO Doc 7300 Article 38