Jumat, 08 Juni 2012

Penerbangan Sipil Indonesia

Bagian ke-2
Disusun oleh : Masyarakat Peduli Penerbangan Sipil (MPPS)

Undang-undang dan peraturan

Setelah menjadi negara anggota, Indonesia mengundangkan undang-undang tentang penerbangan yang pertama diterbitkan adalah UU No.83 Tahun 1958, berisi 28 pasal sebagai pengganti dari "Luchtvaart besluit 1932 (Staatsblad 1933 No. 118) dan "Luchtvaart ordonnantic 1934" (Staatsblad 1934 No. 205. Undang-undang No.83 diundangkan pada 31 Desember 1958.

Dengan berbagai pertimbangan yang antara lain, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan maka Indonesia menerbitkan Undang-undang No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan menggantikan undang-undang tahun 1958. Undang-undang No.15 Tahun 1992 berisi 76 pasal dan diundangkan pada 25 Mei 1992.

Selanjutnya dengan mempertimbangkan bahwa undang-undang No.15 Tahun 1992 tidak sesuai dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis serta kebutuhan penyelenggara penerbangan maka diterbitkan UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang terdiri dari 466 pasal yang di undangkan pada 12 Januari 2009.

Jika diperhatikan maka undang-undang tentang penerbangan di Indonesia yang pertama diundangkan pada zaman "orde lama", kemudian disesuaikan pada zaman "orde baru" dan yang terakhir pada era "reformasi".

Mengacu kepada undang-undang yang ada maka disusunlah aturan-aturan yang bersifat teknis penerbangan dalam peraturan pemerintah (PP) dan keputusan menteri (KM). Secara umum peraturan dan keputusan tersebut mengadopsi aturan-aturan yang dikeluarkan ICAO, baik sebagian ataupun seluruhnya.

Civil Aviation Safety Regulation (CASR) adalah peraturan keselamatan penerbangan sipil yang mengatur segala macam hal teknis mulai rancang bangun serta pengoperasian pesawat udara, bandar udara, navigasi penerbangan hingga lisensi petugas-petugas yang berkaitan langsung dengan keselamatan penerbangan serta tempat-tempat pendidikanya. Ada lebih dari 30 Bagian CASR yang telah diberlakukan termasuk petunjuk teknisnya (guidance).

Bersumber pada catatan yang dipublikasikan Kementerian Perhubungan maka beberapa CASR pertama diterbitkan adalah tahun 1960-an. Dengan terbitnya undang-undang penerbangan tahun 1992 jumah CASR bertmabah namun belum lengkap. Dengan berlakunya UU No.1 Tahun 2009 maka jumlah CASR makin bertambah seiring laporan USOAP.

Penulis ingin menggambarkan bahwa semenjak Indonesia menjadi anggota ICAO tahun 1950, maka CASR menjadi lengkap setelah 4 dekade kemudian. Tentu dapat menimbulkan pertanyaan apakah Indonesia serius dengan transportasi udara.

Hubungan Indonesia dengan ICAO

Indonesia pertama kali hadir pada sidang ICAO adalah pada tahun 1950 dalam Sidang Assembly ke-4 dimana delegasi Indonesia yang diketuai oleh Dr. T. Thayeb menyatakan keinginan Republik Indonesia Serikat (RIS ketika itu) bergabung organisasi penerbangan sipil sedunia itu dan tanggal 27 Mei 1950 resmi diterima menjadi negara anggota ke-58.

Semenjak menjadi negara anggota maka delegasi Indonesia selalu dapat menghadiri sidang-sidang ICAO seperti Assembly maupun pertemuan-pertemuan lain di Canada atau Thailand atau tempat lain.

Suatu kehormatan bagi Indonesia ketika pada tahun 1970 ICAO memilih Bapak Ir. Karno Barkah dipercaya menjadi Vice President of Assembly dan pada tahun 1971 menjadi Ketua Kelompok-kerja ICAO Condition of Services.

Dalam menjalankan kegiatannya ICAO membentuk Assembly (Mejelis) terdiri dari semua negara anggota yang memberikan tugas kepada Council (Dewan). Dewan memiliki Commission yang melakukan kegiatan teknis menjalankan policy dan mencapai sasaran yang ditetapkan sebelumnya oleh Assembly.

Council (Dewan) terdiri dari 33 negara dipilih dari semua negara anggota yang kemudian dijadikan dua “kelompok”. Kelompok Pertama adalah negara anggota yang sangat pentingnya dalam transportasi udara seperti Inggris, Amerika, Prancis dan Brazil.

Kelompok Kedua adalah negara-negara yang membuat kontribusi terbesar terhadap penyediaan fasilitas untuk navigasi penerbangan sipil internasional seperti Jepang, Iran, Swiss.

Sisa dari 33 negara yang ditetapkan menjadi anggota Council masuk kedalam kelompok yang dapat mewakili negara-negara dengan pertimbangan luas negara yang digolongkan besar.

Indonesia juga pernah menjadi anggota  yang mewakili kelompok yang luas nya besar dari tahun 1962 hingga 1998 dan saat ini sedang berusaha kembali menjadi anggota council.

Memperhatikan Tata Tertib menjadi anggota Council (Dewan) yang demikian ketat dan penuh persaingan maka dibutuhkan kerja kerasdalam hal kesiapan system transportasi udara yang dapat memenuhi semua kriteria ICAO, tersedianya dana yang cukup dan kemampuan Indonesia untuk melakukan diplomasi dengan banyak pihak.

Barangkali Kementerian Perhubungan perlu menimba pengetahuan dari Singapore. Negeri “jiran yang demikian tajir” masuk menjadi anggota ICAO pada tahun 1966 dan setelah 46 tahun sudah demikian “mendunia” dan ICAO telah memasukan langsung kedalam  Kelompok kedua pada Council.

Catatan Kecelakaan Pesawat Udara

Selama kurun waktu dari tahun 1950 hingga sekarang dunia penerbangan sipil di tanah air telah memberikan manfaat dalam kehidupan ekonomi, sosial dan budaya, namun telah banyak juga menelan korban jiwa dan harta akibat kecelakaan pesawat terbang.

Masih kita ingat beberapa peristiwa kecelakaan pesawat terbang, seperti peristiwa di Pegunungan Sibolangit Sumatra Utara, kecelakaan pesawat terbang jenis VC-8 di Tj.Karawang, MD-90 yang gagal mendarat di bandar udara Adi Sumarmo di Solo, kegagalan mendarat B737 di bandar udara Adi Sutjipto di Yogjakarta serta beberapa peristiwa kecelakaan lain di Papua.

Selain dari itu juga peristiwa kecelakaan/insident yang melibatkan pesawat udara negara lain di Indonesia, seperti B707 Pan American di Bali, B747 British Airways yang menghisap debu vulkanic serta yang terakhir adalah musibah Sukhoi SJ100 di Peg. Salak Jawa Barat.

Selain dari itu banyak juga tercatat peristiwa “near mid-air collision” yang terjadi diruang udara Indonesia.

Jumlah accident/incident yang dicatat oleh KNKT selama periode 1988 – 2003 sebanyak 375 kali sedangkan periode 2007 – 2011 sebanyak 105 accident/incident yang telah diselidiki [sumber KNKT]

Kebutuhan Prasarana

Peristiwa kecelakaan pesawat terbang tidak kemudian menjadikan tansportasi udara ditinggalkan oleh pengguna jasa, tahun demi tahun telah terjadi pertumbuhan yang penting. Selama dua dekade terakhir, terlebih semenjak perusahaan penerbangan “memangkas” harga tiket maka makin banyak orang bepergian antara kota dalam satu pulau dan antara pulau yang lainnya menggunakan transportasi udara. Ada indikasi bahwa pertumbuhan transportasi udara didalam negeri lebih besar dibanding dengan potensi penumpang international.

Pada tahun 2011 pertumbuhan jumlah penumpang telah mencapai 16,76% dengan komposisi jumlah penumpang domestik 51,55 juta dan international sebesar 10,8% [sumber IFT, 19 Mei 2011]

Selain daripada itu bandar udara baru juga telah dan terus dibangun dengan fasilitas keselamatan penerbangan yang lebih baik. Pemasangan fasilitas ILS dihapir semua landasan serta tambahan fasilitas surveillance telah meningkatkan kelancaran arus lalu lintas penerbangan.

Dengan pertumbuhan permintaan akan transportasi udara, harus diantisipasi dengan baik dengan “tidak selalu” membangun prasarana “fisik” perlu penyesuian aturan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pemberi layanan dalam semua aspek transportasi udara dan mengubah paradigma regulator sebagai “penguasa” menjadi sebagai “pengayom”.

Bagian akhir dari Bagian 2

Menutup bagian ke 2 ini ada beberapa catatan :

·         Indonesia menjadi anggota ICAO pada tahun 1950 namun baru memiliki undang-undang delapan tahun kemudian dan menjadi lebih lengkap setelah 59 tahun (dengan terbitnya UU N0.1 Thn 2009) temasuk peraturan dan petunjuk teknis;

·         Walaupun telah menjadi anggota ICAO, kelihatannya kesempatan hubungan dengan organisasi tersebut tidak terjaga dengan baik dan “kemungkinan” kinerja Indonesia dihadapan negara anggota lain dipertanyakan. Seharusnya ketika menjadi anggota Council selama beberapa periode dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya;

·         Tingkat kecelakaan transporasi udara masih tinggi dan lebih banyak diakibatkan oleh faktor manusia, misalnya ketaatan pada peraturan keselamatan penerbangan;



Minggu, 03 Juni 2012


Penerbangan Sipil  Indonesia
Bagian 1
Disusun oleh : Masyarakat Peduli Penerbangan Sipil

Latar Belakang

Pesawat udara dikenal karena upaya dua bersaudara Wilbur dan Orville Wright yang berhasil menerbangkan “kitty hawk” pada tahun 1905, semanjak itu teknologi pesawat udara terus berkembang dan menjadi moda transportasi yang telah mengubah cara orang bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan cara yang lebih cepat dan dengan jarak yang lebih jauh dari kemampuan sebelumnya.

Secara perlahan namun pasti pesawat udara sebagai moda transportasi dapat menyebar kepenjuru dunia dan memberikan manfaat dalam membangun perdamaian, kehidupan sosial, budaya dan ekonomi dunia, temasuk di Indonesia.

International Civil Aviation Organization (ICAO) dibentuk dalam rangka membangun kelancaran dan keselamatan navigasi penerbangan diseluruh dunia dan sejauh mungkin memberikan petunjuk-petunjuk yang bermanfaat bagi anggotanya.

Indonesia menjadi anggota ICAO pada 27 Mei 1950 setelah menyatakan “tunduk” kepada Konvensi Chicago 1944.

Dalam rangka 62 tahun menjadi anggota ICAO seperti apa dunia penerbangan sipil di Indonesia dan apa yang perlu menjadi perhatian kita semua.

Masyarakat Peduli Penerbangan Sipil (MPPS) dengan segala keterbatasan berupaya turut berperan menyumbangkan pemikiran dalan bentuk tulisan yang terdiri dari beberapa bagian melalui blog Transport Kita.

Komentar, masukan dan kritik diterima dengan senang hati dan mudah-mudahan dapat menjadi bahan pembahasan bersama.

Penduhuluan

International Civil Aviation Organization (ICAO) telah menyatakan Republik Indonesia Serikat (ketika itu) menjadi negara anggota pada tanggal 27 Mei 1950 dimana sebelumnya pada tanggal 24 April 1950 menyatakan "tunduk" kepada organisasi ini.

Ikut sertanya Indonesia dalam ICAO adalah untuk turut serta membangun penerbangan sipil dalam membuka hubungan persahabatan antar bangsa yang pada akhirnya akan memberikan manfaat sosial, budaya dan ekonomi.

Sementara itu didalam negeri penerbangan sipil diharapkan akan dapat memfasilitasi mobilitas orang serta barang antar pulau dan kota dengan lebih cepat dibanding dengan moda transportasi lainnya. 

Indonesia menjadi Anggota ICAO

Perkembangan penerbangan sipil, baik karena peningkatan kemampuan teknologi maupun peningkatan kebutuhan manusia telah mengarah kepada "seolah-olah" penerbangan sipil suatu fasilitas transportasi tanpa batas wilayah negara (state borderless) dan oleh karena itu banyak peraturan-peraturan yang bersifat international dan telah diadopsi menjadi peraturan dari tiap negara anggota.

Tidak terasa bahwa Indonesia telah menjadi anggota ICAO selama 62 tahun, ada baiknya kita melihat situasi dunia penerbangan sipil Indonesia dan apa tantangan pada masa depan.

International Civil Aviation Organization dibentuk pada 7 Desember 1947 di Chicago dengan tujuan antara lain untuk meningkatkan persahabatan serta pengertian antar bangsa-bangsa, mencegah terjadinya perselisihan antara bangsa dan antar penduduk yang menjadi dasar keamanan dunia, keinginan itu dituangkan dalam suatu konvensi “Chicago Convention of 1944”.

Dokumen konvensi Chicago di tanda tangani oleh kira-kira lima-puluh negara terdiri dari 96 pasal yang mengatur hampir semua aspek yang terkait dengan penerbangan sipil. Dokumen ini merupakan “undang-undang dasar” karena selanjutnya disusun dan diberlakukan “standard and recommanded practices” dalam bentuk “Annexes”.

Ada delapan belas “Annex” yang kemudian menurunkan dokumen teknis lainnya dimana sebahagian besar berkaitan dengan keselamatan dan kelancaran penerbangan.

Sejalan dengan tuntutan kebutuhan serta kemajuan teknologi maka Konvensi Chicago juga telah berulang kali diperbaharui, saat ini telah mencapai edisi ke-9 dan diharapkan isi pasal dapat diadopsi dalam undang-undang dari negara-negara anggota.

Indonesia meratifikasi Konvensi Chicago 17 Desember 1944 pada 27 April 1950 dan dinyatakan efektif satu bulan kemudian.

Tujuan ICAO antara lain untuk meningkatkan persahabatan serta pengertian antar bangsa-bangsa, mencegah terjadinya perselisihan antara bangsa dan antar penduduk yang menjadi dasar keamanan dunia, keinginan itu dituangkan dalam suatu konvensi “Chicago Convention of 1944”.

Bagian akhir dari Bagian 1

·         ICAO adalah organisasi penerbangan sipil internasional yang dibentuk pada 7 Desember 1947 di Montreal Canada dengan tujuan antara lain antara lain untuk meningkatkan persahabatan serta pengertian antar bangsa-bangsa, mencegah terjadinya perselisihan antara bangsa dan antar penduduk yang menjadi dasar keamanan dunia, keinginan itu dituangkan dalam suatu konvensi “Chicago Convention of 1944”.;

·         Indonesia menjadi resmi diakui sebagai anggota ICAO pada 27 Mei 1950;

·         ICAO mempunyai dokumen dasar “Chicago Convention 1944” yang menghasilkan delapan belas Annexes serta banyak dokumen teknis;
·       Chicago Convention 1944 serta dokumen dibawahnya telah banyak diadopsi negara anggota sebagai undang-undang dan peraturan dasar.

Sabtu, 12 Mei 2012

Transportasi
Disusun oleh:
MASYARAKAT PEDULI PENERBANGAN SIPIL (MPPS)

Dalam kehidupan manusia sebagai mahluk sosial yang selalu membutuhkan interaksi antara manusia dan antara manusia dengan alam sekitarnya maka komunikasi (serta telekomunikasi) dan transportasi menjadi kebutuhan.

Sebagai mahluk sosial kadangkala pemenuhan kebutuhan telekomunikasi saja telah mencukupi, namum kadangkala kehadiran secara phisik menjadi sangat penting dalam kegiatan interaksi sosial maka disanalah kebutuhan transportasi berperan.
Kualitas berkomunikasi dan transportasi berpengaruh kepada hasil akhir dalam pemenuhan kebutuhan sosial manusia serta keadaan alam sekitarnya.
Berkaitan dengan telekomunikasi dan transportasi, maka kami mencoba akan menyajikan beberapa tulisan bersambung melalui blog ini dan sebagai awalnya akan disampaikan beberapa tulisan berkaitan dengan transportasi udara khususnya keselamatan transportasi udara.
Terimkasih atas komentar serta masukan dan mudah-mudahan penyajian ini dapat menambah wawasan kita semua.
THE UNIVERSAL SAFETY OVERSIGHT AUDIT PROGRAMME
The Universal Safety Oversight Audit Programme bersumber dari Resolusi Assembley A29-13 (Improvement of Safety Oversight yang diadopsi pada tahun 1992 pada  Sidang ke-29 dari  International Civil Aviation Organization Assembly. Resolusi ini antara lain mengandung  keprihatinan bahwa beberapa negara anggota ICAO kemungkinan mempunyai kendala melaksanakan kewajibannya dalam pengawasan keselamatan, menegaskan kembali bahwa merupakan kewajiban setiap negara untuk melakukan pengawasan keselamatan merupakan salah satu prinsip dari Konvensi Chicago, serta meminta Negara-Negara untuk menyediakan sumber daya teknis dan keuangan sehingga memungkinkan negara lain dapat melaksanakan tanggung jawab mereka dalam pengawasan keselamatan operasi angkutan udara. 
TAHAPAN ICAO USOAP
Tahap pertama dari program ini diluncurkan pada tahun 1996 atas dasar sukarela.
Pada tanggal 10 hingga 12 November 1997, para Direktur Jenderal Perhubungan Udara (DGCAs) bertemu di Montreal Kanada pada konferensi sedunia tentang Global Strategy for Safety Oversight untuk pertama kali. Konferensi ini menegaskan kembali bahwa perlunya pengawasan keselamatan penerbangan, merumuskan perbaikan program pengawasan keamanan ICAO serta  merumuskan strategi global bagi pengawasan keselamatan penerbangan berdasarkan langkah-langkah praktis dan konkret agar suatu sistem pengawasan keselamatan penerbangan yang efektif dapat dilaksanakan oleh setiap negara, yang sesuai dengan ketentuan ICAO.
Keberhasilan awal dari program ini membawa Sidang Majelis ICAO ke-32, diselenggarakan pada tahun 1998, untuk mendukung peningkatan program ini dan menyediakan dana yang diperlukan, sehingga membangun Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) yang terdiri reguler, wajib, audit keselamatan yang sistematis dan harmonis perlu dilakukan oleh ICAO, termasuk pelaporan yang sistematis dan mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan Standards and Recommended Practices yang terkait dengan keselamatan, yang berhubungan dengan prosedur, arahan materi dan praktek (Resolusi A32-11). ICAO USOAP diluncurkan pada Januari 1999, menggantikan program sukarela.
Ruang lingkup kelanjutan program ini khusus pada awalnya terbatas pada Annex 1 (Personnel Licensing), Annex 6 (Operation of Aircraft) dan Annex 8 (Airworthiness of Aircraft). Pada sidang  Assembley ke-33 pada tahun 2001, Resolusi A33-8 mendukung kelanjutan dan perluasan Universal Safety Oversight Audit Programme untuk menyediakan sampul Annex 11 (Air Traffic Services), Annex 13 (Aircraft Accident and Incident Investigation) dan Annex 14 (Aerodromes).
Pada Sidang Majelis ke-35 yang diadakan pada tahun 2005, Resolusi A35-6 meminta agar USOAP yang selanjutnya dapat diperluas untuk menyertakan semua yang terkait dengan ketentuan keselamatan penerbangan dalam semua Annex dari Konvensi Penerbangan Sipil Internasional,  sehingga merupakan suatu pendekatan pengawasan yang komprehensif dari satu Annex ke Annex lainnya. Pendekatan sistem yang komprehensif dalam pelaksanaan audit (Comprehensive System Approach = CSA), dilaksanakan dalam periode enam tahun dan rencananya akan berakhir pada tahun 2010.
Pada tanggal 20-22 Mei 2006 para Direktur Jenderal Penerbangan Sipil bertemu di Montreal, Kanada pada Conference on a Global Strategy for Aviation Safety (DGCA/06). Selama konferensi ini, para Direktur Jenderal dari 189 Negara Anggota ICAO melakukan penilaian atas status keselamatan penerbangan, mengidentifikasi cara untuk mencapai perbaikan yang signifikan dan mengembangkan kerangka kerja keselamatan untuk abad 21 - Global Strategy for Aviation Safety – dengan cara yang asertive, terkoordinasi dan transparan. Disepakati juga untuk menyampaikan hasil dari Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) pada situs publiknya ICAO. Pertemuan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara ini dihadiri oleh 566 peserta dari 153 Negara Anggota dan 26 organisasi internasional.
Resolusi Assembley ICAO A36-4 (September 2007) menyusun suatu pendekatan baru untuk diterapkan dalam USOAP sesudah tahun 2010 yang berdasarkan pada konsep pendekatan pemantauan terus menerus (concept of a continuous monitoring approach)., Tujuan dari USOAP setelah tahun 2010 adalah untuk  mempromosikan keselamatan penerbangan global, dengan meningkatkan kemampuan pengawasan keselamatan dari Negara Anggota, melalui pemantauan terus menerus kinerja keselamatan dari tiap negara anggota dalam rangka mengidentifikasi kekurangan dalam keselamatan, menilai risiko terkait keselamatan, menerapkan strategi untuk mitigasi dan meninjau tingkat pencapaian kemampuan pengawasan keselamatan dari negara anggota.
UPAYA INTERNATIONAL
Pentingnya pelaksanaan USOAP beberapa upaya dari negara tertentu baik secara bersama-sama maupun individual mengadopsi ICAO USOAP menjadi bagian peningkatan serta persyaratan tanggung-jawab negara anggota pada pelaksanaan pengawasan keselamatan penerbangan.
Uni Eropa menerbitkan dan memberlakukan  peraturan REGULATION (EC) No 2111/2005 OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE COUNCIL of 14 December 2005 on the establishment of a Community list of air carriers subject to an operating ban within the Community and on informing air transport passengers of the identity of the operating air carrier, and repealing Article 9 of Directive 2004/36/EC.
Peraturan diatas memberikan pembatasan kepada maskapai penerbangan dari semua negara anggota ICAO yang pelaksanaan pengawasan keselamatan penerbangan belum dapat memenuhi kriteria minimum seperti yang disyaratkan oleh ICAO.
Kementerian Perhubungan (DOT) Amerika Serikat memberlakukan kebijaksan 57 FR 38342, August 24, 1992, menjelaskan bagaimana caranya Amerika melakukan penilaian kepada Otoritas Penerbangan Sipil negara lain telah dapat memenuhi persyaratan standar minimun pengawasan keselamatan penerbangan seperti yang oleh ICAO. Semaunya berkaitan dengan bagaimana negara anggota menjalankan fungsi pegawasan keselamatan penerbangan, terutama berkaitan dengan personil, pengoperasian serta kelaik-udaraan pesawat terbang yang didaftar di negara anggota.
Dari Kebijaksanaan 57 FR 38342 tersebut keluar daftar Category 1 bagi Otoritas Penerbangan Sipil yang telah dapat memenuhi persyaratan minimum, Category 2 bagi yang belum dapat memenuhi. 
HASIL PELAKSANAAN USOAP (hingga tahun 2010)

Seperti telah disebutkan bahwa program pengawasan keselamatan penerbangan dimulai pada tahun 1996 yaitu program penilaian (assessment) atas dasar sukarela dari negara anggota.
Dari program asesmen diungkapkan bahwa banyak negara menghadapi kesulitan serius dalam memenuhi kewajiban pengawasan keselamatan mereka. Penyebab paling umum atas kekurangan ini adalah bahwa negara anggota tidak dapat menyediakan sumber daya yang memadai untuk tugas itu. Empat kategori  kekurangan itu meliputi:  undang-undang / peraturan penerbangan; struktur kelembagaan; teknisi penerbangan yang berkualitas, dan sumber daya keuangan.
ICAO melaporkan bahwa selama kegiatan audit periode (initial cycle) tahun 1999 – 2004 dari 161 negara anggota sebanyak 5% tidak melaksanakan USOAP dan 13% tidak melaporkan hasil auditnya (tidak bersedia hasil auditnya dilaporkan). Negara yang telah melakukan kegiatan ini seperti ditulis pada tabel disamping ini.
Berdasarkan hasil tersebut maka berdasarkan hasil sidang assembly tahun 1999 diterima Resolusi A32-11 Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) yang bersifat reguler, wajib, audit keselamatan yang sistematis dan harmonis.
Kegiatan audit dalam rangka USOAP yang diperluas periode 2005 – 2010 telah dilaksanakan audit kepada 177 negara dan semua negara telah bersedia untuk hasil auditnya diketahui oleh negara anggota lainnya .
Hasil USOAP periode 2005 – 2010 inilah yang oleh Amerika dan Uni Eropa mengakibatkan beberapa larangan terbang (memasuki wilayah udara) bagi sejumlah perusahaan penerbangan / operator pesawat terbang karena kemampuan pengawasan keselamatan penerbangan dari beberapa negara telah dinilai belum memenuhi persyaratan minimum ICAO.
BAGAIMANAKAH INDONESIA MENJALANKAN USOAP?
Seperti diketahui bahwa pada tahun audit pengawasan keselamatan penerbangan yang ditujukan kepada perusahaan penerbangan di negara anggota dilakukan pada tahun 1996 berdasarkan hasil sidang ICAO ke-29 dimana ketika itu bersifat sukarela (voluntary basis). Apakah Indonesia telah melaksanakannya tidak ditemukan informasi yang mengindikasikan Indonesia menjalankan kegiatan tersebut.
Audit pengawasan keselamatan penerbangan di Indonesia dilaksanakan pada tanggal 6 hingga 15 November 2000 mengacu kesepakatan dengan ICAO yang dituangkan melalui MoU yang disepakati pada tanggal 30 Agustus 2000 (initial cycle), yang meliputi  Annex 1, Annex 6 dan Annex 8.
Dari hasil audit tersebut Indonesia maka pada tanggal 18 Januari 2001 telah mengirimkan action plan  atas finding dan rekomendasi laporan interim kepada ICAO dan setelah dilakukan evaluasi oleh Safety Audit Oversight Section.
Pada tanggal 13 hingga 15 January 2004, ICAO melakukan Safety Oversight Audit Follow-up dan dalam laporannya disampaikan beberapa catatan, yang sifatnya menjelaskan bahwa beberapa peryaratan telah sesuai dengan ICAO, namun beberapa lainnya masih bersifat “open items”. Apakah selanjutnya “open items” tersebut telah diselesaikan maka hanya Direktorat Jenderal Perhubungan Udara / Departemen Perhubungan dan Komunikasi (ketika itu) adalah instansi yang mengetahui karena Indonesia tidak memberi ijin kepada ICAO menyampaikan hasil audit (consent State).
Seperti telah disepakati antara ICAO dengan negara anggota, maka untuk pelaksanaan USOAP perlu ditandatangani MoU, dan pada 28 April 2006 Direktorat Jenderal Perhubungan Udara menandatangani kesepakatan pemahaman dimaksud. Selanjutnya pelaksanaan audit pengawasan keselamatan penerbangan yang meliputi Annex 1, 6, 8, 11, 13 dan 14 dilaksanakan pada 6 hingga 15 Februari 2007 (CSA audit cycle) oleh enam auditor ICAO.
Kurang lebih sembilan bulan kemudian ICAO menyampaikan laporan akhir audit dan yang mengindikasikan beberapa catatan dimana Indonesia masih belum sepenuhnya dapat memenuhi persyaratan pengawasan keselamatan penerbangan yang diamanatkan konvensi Chicago.
Adapun catatan hasil audit meliputi,  primary lagislation / regulations, civil aviation organisations, personnel licensing and training, aircraft operation certificationand supervisions, airworthiness of aircraft, aircraft accident and incident investigations, air navigation services, dan aerodrome.
Sebagai institusi negara yang bertanggung-jawab pada pengawasan keselamatan penerbangan di Indonesia maka Direktorat Jenderal Perhubungan Udara telah melakukan upaya perbaikan-baikan atas hasil audit tersebut dengan telah menyampaikan rencana-aksi.
Salah satu upaya keras yang telah dilakukan oleh Kementerian Perhubungan adalah melakukan penyesuaian (pembaharuan) undang-undang penerbangan UU. No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang mencoba untuk melakukan pengaturan serta pengawasan keselamatan penerbangan sipil semaksimal mungkin. Selain itu peraturan keselamatan penerbangan sipil yang telah ada disesuaikan dan menerbitkan peraturan baru, utamanya berkaitan dengan Annex 1, 11, 13 dan 14.
Pada 4 – 7 Agustus 2009 ICAO melakukan validasi atas rencana-aksi Indonesia dan hasilnya telah di publikasi melalui ICAO web. Dan dari sana tampak bahwa sesungguhnya program pengawasan keselamatan penerbangan yang dilakukan Indonesia sudah cukup baik diatas rata-rata persyaratan.
Namun bila memperthatikan kebijakan yang dilakukan oleh EU dan FAA hingga tahun 2012 pesawat terbang yang didaftarkan di Indonesia (state registered aircraft) masih belum dapat beroperasi diruang udara negara-negara tersebut, hal itu perlu dicari tahu penyebabnya. Jika membaca kebijaksanaan FAA maka Indonesia digolongkan sebagai negara yang fungsi pengawasan keselamatan penerbangannya masih berada dibawah persyaratan minimum ICAO. Dikawasan ASEAN ada dua negara yang masuk Category 2, yaitu Filipina dan Indonesia.
Upaya Yang Perlu Dilakukan Oleh Indonesia.
Setelah terhenyak dengan kebijaksanaan larangan terbang negara-negara Eropa dan FAA tahun 2007, semua pihak (wartawan, pejabat pemerintah, anggota dewan dan kalangan industri) ditanah air memberikan komenar dan pendapatnya masing-masing, namun tetap saja kepercayaan tersebut hilang.  Dengan diijinkannya Garuda Indonesia memasuki wilayah Eropa sepertinya masalah keselamatan penerbangan di Indonesia sudah sesuai dengan ICAO, tetapi ternyata tidak seperti itu.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perhubungan kiranya perlu menimbang untuk melakukan pengkajian atas UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan secara terbuka dengan melibatkan banyak pihak serta mencoba memperhatikan undang-undang sejenis dari negara-negara sekitar Indonesia misalnya, Singapura, Malaysia dan Sri Lanka. Graphik pada bagian akhir memberikan informasi awal bagaimana posisi Indonesia diantara ketiga negara sekitar.
Apabila Pemerintah melakukan kajian terhadap undang-undang maupun peraturan yang lebih rendah terkait dengan penerbangan maka perlu memperhatikan undang-undang 1] yang ada terakait dengan penggunaan Bahasa Indonesia. Hal ini penting agar seleras dengan Konvensi Chicago.
Fungsi dan tugas pokok Direktorat Jenderal Perhubungan Udara perlu disesuaikan dengan memisahkan fungsi regulasi dan pengawasan keselamatan dari fungsi-fungsi lain yang ada selama ini, dengan harapan fungsi pelaksanaan pengawasan keselamatan penerbangan menjadi lebih fokus.
Fungsi pegawasan dan regulasi harus memperhatikan fokus keselamatan penerbangan seperti yang dipersyaratkan ICAO seperti mengacu fokus kegiatan USOAP, Pembinaan kempetensi melalui pengawasan penerapan sistem pemberian lisensi (Annex 1), pembinaan kesiapan pengoperasian pesawat udara melalui pengawasan atas kelaik-udaraan dan pengoperasian pesawat udara (Annex 6 dan Annex 8), pembinaan pengawasan atas pelayanan navigasi penerbangan di ruang udara (Annex 11), pembinaan pengawasan investigasi atas kecelakaan transportasi udara ringan dan berat (Annex 13), pembinaan pengawasan keselamatan navigasi penerbangan di aerodrome (Annex 14).
Indonesia harus lebih aktif mempelajari dan berkomunikasi dengan ICAO atas rencana kebijakan (terutama terkait dengan keselamatan penerbangan) melalui penyampaian adanya perbedaan aturan jika ada) seperti yang diatur dalam satu pasal Konvesi Chicago2]
Direktoran Jenderal Perhubungan Udara perlu memperlihatkan komitmen yang sungguh-sungguh kepada ICAO serta Otoritas keselamatan penerbangan negara-negara lain, atas implementasi semua legislasi dan regulasi keselamatan penerbangan yang sudah diberlakukan.
1] UU  No.24 Tahun 2009
2] ICAO Doc 7300 Article 38


Selasa, 08 Mei 2012


PENGELOLAAN LANGIT KOTA BATAM:
Mengapa dilakukan oleh Negara tetangga?
1.         Pendahuluan

Dalam sebuah seminar Komunitas ASEAN di Batam[1] belum lama ini, seorang petugas control Bandara Hang Nadim Batam mengatakan bahwa pengelolaan wilayah udara Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau dan sekitarnya untuk system navigasi penerbangan oleh negeri jiran Singapura, sangat merugikan Indonesia. Kenapa? Karena pemerintah (Indonesia) menjadi kehilangan kendali atas langitnya sendiri.

Menanggapi hal tersebut, pengamat penerbangan Ruth Hanna Simatupang antara lain mengatakan: (1) pengelolaan navigasi oleh Singapura membuat kedaulatan Indonesia berkurang. Meski Singapura memiliki kemampuan lebih dalam system navigasi, pemerintah Indonesia tidak bisa memberikan pengelolaan langit Batam ke negeri jiran itu. Sebaliknya pemerintah harus mengandalkan kemampuan dalam negeri sendiri; (2) Akibat kedaulatan negara yang berkurang di wilayah udara Batam, system pengawasan, pengelolaan, dan pengembangan maskapai penerbangan maupun infrastruktur pendukungnya menjadi lemah.

Masalahnya adalah (1) apakah yang disampaikan pengamat penerbangan itu benar demikian, dan (2) apa upaya kita untuk mengembalikan ruang udara Indonesia  yang selama ini dikelola oleh Negara tatangga (Singapur dan Malaysia), dalam kurun waktu seperti diamanatkan UU Nomor 1/2009 atau bahkan sebelumnya?.

 2.         Wilayah Penerbangan (FIR/UIR)[2]

Untuk kepentingan pelayanan lalu lintas udara (air traffic services), seluruh ruang udara di atas permukaan bumi dibagi habis menjadi wilayah-wilayah penerbangan yang dikenal dengan sebutan Flight Information Region/FIR[3] dengan batas-batas yang jelas sebagaimana halnya batas wilayah kedaulatan. Sementara di sisi lain kita mengetahui adanya wilayah kedaulatan Negara yang meliputi wilayah darat, laut territorial maksimal sampai dengan 12 mil yang mengelilingi wilayah darat tersebut, serta ruang udara di atas wilayah darat dan laut territorial itu.

 Jika dibandingkan luas wilayah udara yang menjadi bagian kedaulatan Negara-negara di dunia dengan seluruh ruang udara di atas permukaan bumi kita, sudah barang tentu terdapat demikian luas wilayah udara yang tidak termasuk menjadi bagian dari wilayah kedaulatan. Oleh karena seluruh wilayah udara di atas permukaan bumi itu harus dibagi habis menjadi FIR/UIR, sudah bisa diperkirakan bahwa banyak Negara yang akan mengurusi FIR dengan batas diluar batas wilayah kedaulatannya. Namun demikian, mengingat kemampuan Negara-negara untuk mengelola pelayanan lalu lintas udara itu tidak sama, atau karena pertimbangan lain, maka diberikan kemungkinan suatu negara mendelegasikan pengaturan lalu-lintas udaranya kepada Negara lain. Dengan adanya kemungkinan itu, apabila dibandingkan antara batas wilayah kedaulatan dengan batas wilayah penerbangan (FIR), terdapat 3 kemungkinan, yaitu:

a.      Batas FIR berimpit dengan batas wilayah kedaulatan Negara. Dalam keadaan seperti ini Negara yang bersangkutan memberikan pelayanan lalu-lintas udara pada wilayah yang sama dengan wilayah kedaulatannya.
b.      Batas FIR berada jauh diluar batas wilayah kedaulatan Negara. Dalam keadaan seperti iti Negara yang bersangkutan memberikan pelayanan lalu-lintas udara selain di wilayah kedaulatannya sendiri, juga (pada bagian tertentu) di luar wilayah kedaulatannya.
c.       Batas FIR ‘masuk’ dan berada di dalam wilayah kedaulatan Negara. Dalam keadaan seperti ini Negara yang bersangkutan memberikan pelayanan lalu-lintas udara  pada sebagian  wilayah kedaulatannya, sementara  pada bagian lain  wilayah kedaulatannya, khusus untuk pelayanan lalu-lintas udaranya didelegasikan kepada Negara lain (tetangganya).
Bagaimana dengan Indonesia pada saat ini? 

Ruang udara yang dilayani[4] meliputi:

a.   wilayah udara Republik Indonesia, selain wilayah udara yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian. Pendelegasian pelayanan navigasi penerbangan pada wilayah udara semata-mata berdasarkan alasan teknis operasional dan tidak terkait dengan kedaulatan atas wilayah udara Indonesia serta bersifat sementara;

b.   ruang udara negara lain yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada Republik Indonesia;

c.   ruang udara yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional kepada Republik Indonesia. Pendelegasian ruang udara oleh organisasi penerbangan sipil internasional ini  adalah di ruang udara di atas wilayah yang bukan merupakan teritorial suatu negara atau di atas laut bebas.
Sesuai dengan ketentuan tersebut, saat ini Indonesia memiliki 2 FIR/UIR yakni FIR Jakarta, dan FIR Makassar. Kedua FIR tersebut mencakup sebagian besar wilayah Indonesia serta wilayah udara internasional di atas Lautan Hindia, wilayah udara Pulau Christmas Australia, dan wilayah udara Timor Leste. Namun  di beberapa wilayah udara Indonesia terdapat area yang pelayanan navigasinya didelegasikan kepada negara lain, seperti di atas kepulauan Natuna dan di atas Halmahera. Sebaliknya, ada pula teritori negara lain yang pelayanan navigasinya didelegasikan kepada Indonesia, yaitu: Pulau Christmas dan sebagian teritori Oakland.

Secara keseluruhan luas FIR Indonesia sekitar  2,2 juta nautical mil persegi (sedangkan luas teritori Indonesia  1,47 juta nautical mil persegi), termasuk  FIR untuk Pulau Christmas milik Australia, wilayah Papua Niugini dan Timor Leste yang belum lama merdeka.  Artinya, pesawat Australia yang akan terbang dari Sydney ke Pulau Christmas, misalnya, melapornya harus ke Indonesia. Kenyataan tersebut menegaskan lagi bahwa masalah alur dan pengaturan penerbangan tidak sepenuhnya dikaitkan dengan kedaulatan negara.

Untuk jelasnya, gambar FIR Indonesia tersebut dapat dilihat dalam peta berikut:

Gb. 1
BATAS FIR INDONESIA BERDASARKAN ICAO RAN I 1973
DI HONOLULU DAN TERITORI BERDASARKAN PP 38 TAHUN 2002
3.      Bagaimana peraturan perundang-undanganan mengatur wilayah udara?

Berbicara tentang wilayah udara, lebih tepatnya kedaulatan Negara di ruang udara, umum diacu ketentuan Konvensi Penerbangan Sipil Internasional (Convention on International Civil Aviation) yang ditandatangani di Chicago tahun 1944.  Pasal 1 konvensi tersebut  menegaskan bahwa:              

The contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory. Sedangkan apa yang dimaksud dengan ‘territory’  itu dijelaskan dalam Pasal 2-nya yang bagi Indonesia tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945.

Konvensi Chicago 1944 memiliki 18 Annex, salah satunya yang berkaitan erat dengan pelayanan lalu lintas udara adalah Annex 11 yang berjudul Air Traffic Services. Dalam Annex tersebut diberikan kemungkinan bagi   sebuah Negara untuk mendelegasikan tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan dan pelayanan lalu lintas udara dalam wilayahnya (…….by mutual agreement, a State may delegate to another State the responsibility for establishing and providing air traffic services in flight information regions, control areas or control zones extending over the territories of the former).

Pendelegasian  penyelenggaraan pelayanan lalu-lintas udara tersebut hanya terbatas pada teknis operasional pelayanan lalu lintas udara saja. Oleh karenanya, kata Annex 11 itu, pendelegasian kewenangan seperti itu sama sekali tidak mengurangi arti kedaulatan Negara yang bersangkutan (it does so without derogation of its national sovereignty).
Atas kesepakatan Negara-negara terkait, kesepakatan pendelegasian tersebut tentu saja kapanpun dapat diakhiri (Both the delegating and providing States may terminate the agreement between them at any time).
Pengaturan tentang kedaulatan Negara di ruang udara, kita jumpai juga pada Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nation Convention on The Law of The Sea / UNCLOS), yang menegaskan sebagai berikut: [5]

 1. The sovereignty of a coastal State extends, beyond its land territory and internal waters and, in the case of an archipelagic State, its archipelagic waters, to an adjacent belt of sea, described as the territorial sea.

2.   This sovereignty extends to the air space over the territorial sea as well as to its bed and subsoil.

3.   the sovereignty over the territorial sea is exercised subject to this Convention and to other rules of international law.

Konvensi yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on the law of the sea ini membawa pengaruh sangat besar bagi Indonesia. Perairan Natuna dan Riau yang awalnya merupakan perairan Internasional berubah menjadi perairan milik Indonesia. Dengan kata lain, wilayah udara yang ada diatasnya pun termasuk kedalam wilayah Indonesia. FIR Singapura yang mencakup kedua wilayah perairan tersebut pun semakin dipertimbangkan karena dianggap telah menyentuh kedaulatan.

Dalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia peraturan lain yang mengatur  tentang kedaulatan Negara Indonesia di ruang udara dapat kita temukan antara lain pada Undang-Undang Nomor 6/1996 ttg Perairan Indonesia  Undang-Undang Nomor   43/2008 ttg Wilayah Negara,  Undang-Undang Penerbangan (sekarang UU Nomor 1 Tahun 2009) serta peraturan pelaksanaannya. Salah satunya adalah adalah PP Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan. Peraturan pelaksanaan yang lain yang tidak begitu banyak diketahui adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan Yang Ditetapkan, sebagai peraturan pelaksanaan UU No. 6 Tahun 1996.

Dalam PP No. 37/2002 antara lain diatur:

a.      Kapal dan pesawat udara asing dapat melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, untuk pelayaran atau penerbangan dari satu bagian laut bebas atau zona ekonomi eksklusif ke bagian lain laut bebas atau zona ekonomi eksklusif melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia. (Pasal 2);

b.      Pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan melalui alur laut atau melalui udara di atas alur laut yang ditetapkan sebagai alur laut kepulauan yang dapat digunakan untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 11.  (Pasal 3 ayat 1);

c.       Pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini di bagian-bagian lain Perairan Indonesia dapat dilaksanakan setelah di bagian-bagian lain tersebut ditetapkan alur laut kepulauan yang dapat digunakan untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tersebut. (Pasal 3 ayat 2);

d.      Kapal dan pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus melintas secepatnya melalui atau terbang di atas alur laut kepulauan dengan cara normal, semata-mata untuk melakukan transit yang terus-menerus, langsung, cepat, dan tidak terhalang. (Pasal 4 ayat 1);

e.      Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan, selama melintas tidak boleh menyimpang lebih dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke kedua sisi dari garis sumbu alur laut kepulauan, dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari 10 % (sepuluh per seratus) jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut kepulauan tersebut. (Pasal 4 ayat 2).
 Bersambung……………….

[1] Media Indonesia edisi Selasa 20 Maret 2012.
[2] FIR = An airspace of defined dimensions within which flight information service and alerting service are provided. (Annex 11: ATS, Ch. 1)
     FIR adalah suatu ruang udara yang ditetapkan dimensinya dan didalamnya terdapat Flight Information Service dan Alerting Service. Flight Information Service adalah pelayanan yang dibentuk dan dipersiapkan untuk memberikan saran dan informasi secara penuh untuk keselamatan dan efisiensi penebangan. Alerting Service adalah pelayanan yang diberikan kepada organisasi yang berkaitan dengan pesawat terbang/ penerbangan yang membutuhkan pertolongan dan dan membantu organisasi yang membutuhkan bantuan pencarian dan pertolongan
[3]   An airspace of defined dimensions within which flight information service and alerting service are provided. (Annex 11: ATS, Ch. 1)
[4] Pasal 262 UU No. 1/2009
[5]  Art. 2 (UNCLOS 1982).