Rabu, 27 November 2013

Unmanned Aerial System (UAS)

Dalam kalangan sipil mengetahui nama Unmanned Aerial Vehicle UAV baik dari koran, majalah, televisi atau dari media lainnya. Tetapi informasi yang diberikan kebanyakan terkait dengan meninggalnya seorang atau sekelompok orang akibat tindakan militer. Demikian hebat UAV ini sehingga dapat memilih-milih targetnya.

Kita tidak akan membahas hebatnya UAV dalam tindakan militer, namun kita akan "ngobrol" hebatnya UAV yang dapat bermanfaat dalam dunia penerbangan sipil.

Kita semua sudah mengetahui permainan anak-anak yang disebut "remote control", biasanya berupa mobil-mobilan sedangkan bagi kalangan remaja berupa pesawat terbang dimana pengemudinya dilengkapi peralatan kemudi. Peralatan kemudi dihubungkan ke mobil-mobilan atau pesawat terbang melalui jaringan frequency yang digunakan untuk memberikan "perintah". Tentu saja karena jenisnya permainan maka jangkauan antara pengemudi dan mainan relatif dekat.

UAV pada dasarnya menggunakan cara yang sama dengan "mainan" tersebut, namun karena sudah dikembangkan sedemikian maju maka pesawat udaranya sudah lebih besar dan dapat terbang sangat jauh dari tempatnya pemberangkatan maupun pendaratan. Posisi pengemudinya (pilot) juga dapat berjarak ratusan mil dari pesawat udaranya. Ukuran UAV yang sudah dapat terbang jauh dan lama kira-kira ukurannya sama dengan pesawat udara jarak menegah. Dengan ukuran seperti itu artinya pesawat udara UAV dapat mengakut barang atau orang dengan jarak yang jauh. Maka jika kelak UAV akan mengakut orang (penumpang) maka ia akan memasuki bandar udara serta ruang udara seperti yang kita kenal saat ini.

Lalu bagaimana aturanya?

Dalam kegiatan yang berkaitan dengan "senjata" kita mengenal UAV atau "drone" sedangkan bagi kepentingan sipil maka International Civil Aviation Organization (ICAO) secara resmi memberi nama Unmanned Aircraft System (UAS).

UAS merupakan konsep baru dalam dunia penerbangan sipil yang memanfaatkan teknologi pesawat udara seperti yang kita kenal serta teknologi komunikasi data serta sistim sensor visual maupun electronic.

Didalam pesawat udaranya tidak ada penerbang, semua cara menerbangkannya dilakukan dari lokasi lain dimuka bumi, jadi hanya akan ada "payload". Komunikasi antara penerbang dengan pusat pengatur lalu lintas penerbangan dilakukan seperti yang kita kenal saat ini.

Ada kecenderungan besar bahwa UAS akan dioperasikan pada bandar udara dan ruang udara yang juga digunakan oleh pesawat udara berawak dan oleh karena itu UAS harus mempunyai kemampuan "seen and be seen" dalam rangka mencegah terjadinya tabrakan.

Hingga saat ini ICAO telah menghimbau negara-negara anggota untuk antisipasi beroperasinya UAS, misalnya perlu peraturan berkaitan dengan kelaikan pesawat udara (airworthiness), lisensi bagi pesonil yang berhubungan dengan pesawat udara (dalam ha ini UAS itu sendiri), kepemilikan serta masalah lain yang berkaitan dengan kemungkinan kegagalan operasional. Pada dasarnya diharapkan UAS akan dioperasikan dengan tingkat keselamatan dan keamanan setera dengan pesawat udara berawak.

Dalam waktu dekat mungkin UAS belum akan mengakut penumpang untuk tujuan komersial, namun karena teknologi UAS yang makin matang maka penggunaan dalam operasi SAR, pengawasan pantai, pengawasan batas wilayah negara segera dapat diwujudkan.

(NM)

Kamis, 17 Oktober 2013

ICAO


Anggota Council ICAO
Latar Belakang
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 249 juta jiwa yang tersebar di kepulauan Nusantara yang membentang dari Timur ke Barat sejauh 5500 km  dan membentang sejauh 2450 km dari Utara ke Selatan merupakan sebuah negara yang luas dengan jumlah bandar udara sekitar 230 mengangkut 131 juta penumpang menggunakan sebanyak lebih dari 400 unit pesawat udara sipi.
Indonesia mulai menjadi Negara Anggota International Civil Aviation Organization (ICAO) pada Mei tahun 1950 setelah menyatakan “menundukan diri” (adherence to) pada Chicago Convention 1944, semenjak saat itu Indonesia cukup aktif hadir pada sidang-sidang Assembly maupun sidang lain di lingkungan ICAO Asia-Pacific.
Pada awal bulan Oktober 2013 telah dilakukan sidang Assembly ICAO di Montreal yang merupakan sidang tahunan dan pada tahun ini diberitakan bahwa Indonesia kembali tidak terpilih menjadi anggota Counsil.
Tulisan ini dibuat untuk membantu memberikan pemahaman kepada masyarakat luas mengapa Indonesia tidak berhasil dipilih kemudian mengajak semua pihak bekerjasama demi berhasilnya Indonesia menjadi anggota Counsil pada pemilihan putaran berikutnya.
ICAO Council
Council adalah sebuah badan tetap Organisasi bertanggung jawab kepada Assembley.
Council terdiri dari 36 negara anggota yang dipilih oleh Assembly untuk masa jabatan tiga tahun. Dalam proses pemilihan, ada  Negara-negara  Anggota yang mewakili Negara Anggota yang memberikan pengaruh besar padad transportasi udara, Negara Anggota lain yang  tidak  termasuk tetapi yang membuat kontribusi terbesar terhadap penyediaan fasilitas penerbangan navigasi sipil dan ada Negara Anggota tidak termasuk yang penunjukan namun dapat mewakili kawasan geographical utama dalam Council.
Council menyelenggarakan sidang Assembly.
Dewan ini memiliki banyak fungsi, di antaranya adalah untuk menyampaikan laporan tahunan kepada Assembly; melaksanakan arahan Assembley, dan melaksanakan tugas dan kewajiban yang diatur dalam Convention on International Civil Aviation (Chicago, 1944). Cuncil juga mengelola keuangan ICAO, menetapkan dan mendefinisikan tugas Air Transport Committee , serta Committee on Joint Support of Air Navigation Services, Finance Committee, Committee on Unlawful Interference, Technical Co-operation Committee,  dan Human Resources Committee, . Council juga menetapkan Member of the Air Navigation Commission serta memilih para anggota Edward Warner Award Committee. Secretary General dipilih dan di tetapkan oleh Council.
Sebagai salah satu dari dua badan yang mengatur ICAO, Council secara teratur memberikan arah kegiatan ICAO. Dalam hal ini, salah satu tugas utamanya adalah untuk mengadopsi International Standards and Recommended Practices (SARPs) dan menjadikan sebagai Annexes to the Chicago Convention . Council dapat mengubah Annexes ada jika diperlukan.
Pada kesempatan tertentu, Council dapat bertindak sebagai penengah antara Negara Anggota dalam hal-hal mengenai penerbangan dan pelaksanaan ketentuan Convention; dapat pula menyelidiki adanya keadaan yang menimbulkan hambatan dalam pengembangan navigasi penerbangan internasional dan, secara umum, dapat mengambil langkah yang diperlukan untuk menjaga keselamatan dan keteraturan transportasi udara  international. Council dipimpin oleh Cpuncil President selama tiga tahun dan terakhir dipilih pada November 2010.  
RegistAssembly
ICAO Assembly merupakan badan tertinggi Organisasi. Assembly mengadakan pertemuan setidaknya sekali setiap tiga tahun dan diselenggarakan oleh Council.
Anggota ICAO terdiri dari 191 Negara dan sejumlah organisasi internasional diundang untuk Assembly, yang menetapkan kebijakan Organisasi di seluruh dunia untuk periode triennium mendatang
Selama Sidang Assembly, program kerja lengkap ICAO bidang teknis, ekonomi, kerja sama hukum dan teknis bahas secara rinci. Hasil Assembly kemudian diberikan kepada badan-badan lain dari ICAO serta Negara-negara Anggota dalam rangka untuk memandu mereka melanjutkan pekerjaan dimasa depan, seperti yang ditentukan dalam Article 49 dari Convention on International Civil Aviation.
Setiap Negara Anggota berhak untuk memberikan satu suara atas materi sidang dihadapan Assembly, dan keputusan dalam Sidang diambil melalui mekanisme mayoritas dari suara - kecuali bila diatur lain diatur dalam Konvensi.
 Anggota Council
Indonesia telah menjadi Anggota ICAO semenjak tahun 1950 dan telah menjadi anggota Council Part III dari tahun 1962 hingga 2001. Melalui Sidang Assembly ke-38 tahun 2013 Indonesia telah mengajukan pencalonan menjadi anggota Council Part III.
Sidang Assembly Ke-38 Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) telah dipilh anggota Counci. Anggota Council terdiri 36 Negara Anggota adalah badan Organisasi dan dipilih untuk jangka waktu tiga tahun.
Proses pemilihan dibagi menjadi tiga part, dan negara yang telah dipilih adalah:
PART I − (Negara Anggota yang paling berpengaruh dalam transportasi udara) – Australia*, Brazil*, Canada*, China*, France*, Germany*, Italy*, Japan*, Russian Federation*, United Kingdom* and the United States*.
PART II − (Negara Anggota yang memberikan kontribusi terbesar terhadap penyediaan fasilitas l navigasi penerbangan sipil internasional) – Argentina*, Egypt*, India*, Mexico*, Nigeria*, Norway, Portugal, Saudi Arabia*, Singapore*, South Africa*, Spain* and Venezuela.
PART III − (Negara Anggota yang mewakili secara geographical) – Bolivia, Burkina Faso*, Cameroon*, Chile, Dominican Republic, Kenya, Libya, Malaysia*, Nicaragua, Poland, Republic of Korea*, United Arab Emirates* and United Republic of Tanzania.
*dipilih kembali
Belum berhasil
Tulisan diatas dapatlah kita memahami bahwa Negara-Anggota yang menjadi anggota Council ICAO dapat memberikan banyak pemikiran dan melalui keaktifan yang diberikan bahkan dapat mempengaruhi arah perkembangan penerbangan sipil dunia. Menjadi anggota Council ICAO menjadi suatu kepercayaan dan kebanggan bagi Negara-Anggota.
Kehilangan kesempatan menjadi aggota Council semenjak tahun 2001 merupakan cermin dari bagaimana posisi Indonesia dalam kancah penerbangan sipil dunia.
Menurut seorang pengamat kebijakan publik kurang berhasilnya Indonesia kembali menjadi anggota Council karena adanya “keangkuhan sektoral Kementerian Perhubungan”.
Penulis mempunyai pandangan lain, bahwa ke-tidak-berhasilan Indonesia kembali menjadi anggota Council dipengaruhi beberapa sebab yang berakibat kepercayaan Negara-Anggota memberikan dukungan kepada Indonesia.
Malaysia menjadi Negara Anggota semenjak tahun 1958 sedangkan Singapura semenjak tahun 1960. Malaysia terpilih kembali menjadi anggota Council Part III dan Singapura langsung menjadi anggota Council Part II untuk kedua kalinya.
Apakah pengelolaan penerbangan sipil Indonesia lebih jelek dari kedua negara tetangga kita itu, lalu bagaiman tolok ukur yang dapat digunakan. Sejauh ini ICAO tidak pernah menyatakan bahwa pengelolaan penerbangan sipil Indonesia buruk.
Kita semua mungkin masih ingat bahwa sekitar tahun 2007/2008 Parlemen Eropa melalui Komisi Transportasinya mengumumkan bahwa Negara Anggota ICAO yang menurut ukuran EU tidak dapat memenuhi standard minimum keselamatan yang ditetapkan oleh ICAO dilarang memasuki/terbang di kawasan mereka, dikenal sebagai EU Banned.
Pemerintah Amerika Serikat melalui FAA menerbitkan peraturan yang senada dengan EU bahwa Negara Anggota ICAO yang belum dapat memenuhi persyaratan minimal keselamatan penerbangan sipil masuk kedalam FAA Category II list.
Dalam upaya mendapatkan dukungan dari Negara Anggota untuk menjadi anggota Council Part III, melalui pernyataannya Indonesia menyebutkan bahwa hasil audit (findings) ICAO atas keselamatan penerbangan telah diselesaikan sebanyak 82% pada November 2012.
Untuk mengetahui apakah pengelulaan penerbangan sipil di Indonesia sudah baik atau masih ada yang kurang dapat disimulasikan melalui hasil audit ICAO tetant keselamatan penerbangan sipil yang datanya dapat diakses pada situs ICAO.
Graphik dibawah ini menunjukan posisi Indonesia dalam pengelolaan penerbangan sipil dibandingkan dengan Malaysia serta Singapura.
 
 
Pendapat dan saran
Kita mengetahui bahwa sebagai bagian dari komunitas penerbangan sipil di dunia Indonesia tidaklah dapat bergerak sendiri, bahwa ICAO sebagai bagian dari PBB menjadi organisasi yang jika kita ikuti dapat memajukan penerbangan sipil di Indonesia.
Tentu secara sadar pada tahun 1950 ketika Indonesia menyatakan masuk kedalam organisasi penerbangan sipil bahwa sebagai Negara Anggota mempunyai hak dan kewajiban. Banyak sudah bantuan pemikiran serta teknis yang diterima Indonesia dalam memajukan sistim transportasi udara, seperti juga diterima Negara Anggota lainnya.
Dukungan serta kepercayaan telah pernah diberikan oleh otoritas penerbangan sipil dunia kepada Indonesia sehingga Indonesia dapat menjadi anggota Council Part III dari tahun 1962 hingga tahun 2001.
Namun sayang kepercayaan yang pernah ada telah tidak dimanfaatkan dengan baik, perkembangan pengelolaan penerbangan sipil dari Negara Anggota lain telah bergerak dengan lebih baik dibanding pengelolaan Indonesia.
Semua Negara Anggota ICAO akan kembali mendapat kesempatan dipilih menjadi menjadi anggota Council tahun 2016, bukan suatu waktu yang lama.
Indonesia dalam hal ini Kementerian Perhubungan sangat perlu berkonsentrasi penuh memperbaiki pengelolaan penerbangan sipil dengan menerapkan semua kebijakan serta petunjuk teknis yang diberikan oleh ICAO sehingga paling tidak seluruh persyaratan minimum keselamatan penerbangan sipil yang ditetapkan dapat tercapai.
Kementerian Perhubungan sebagai organisasi negara yang bertanggung-jawab sebagai regulator penerbangan sipil di tanah air harus membuka diri dan bekerja sama dengan semua potensi yang ada, kesan “keangkuhan sektoral”, jika ada, seperti yang disampaikan oleh pengamat kebijakan publik harus segera dihilangkan.
Selain itu ada baiknya Kementerian Perhubungan perlu melihat kembali bentuk serta isi UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, bandingkan dengan undang-undang sejenis dari Negara Anggota lain yang ada disekeliling dan benar-benar memahami maksud serta tujuan dari Convensi Chicago 1944. (nm)

Minggu, 25 Agustus 2013

Peristiwa Kecelakaan Pesawat Udara Di Runway

Pendahuluan

Pada 6 Agustus 2013 telah terjadi dimana pesawat udara Lion Air jenis B737-900 menabrak hewan (sapi) ketika melakukan pendaratan di aerodrome Jalaludin, Gorontalo. Semua penumpang dan awak pesawat udara dalam keadaan selamat tetapi pesawat udara mengalami kerusakan dan runway tidak dapat dioperasikan untuk beberapa waktu.

Dalam dunia penerbangan sipil ada dua pengertian pertama, runway excursion yaitu kecelakaan pesawat udara ketika sedang melakukan pendaratan atau lepas landas dimana kemudian karena sesuatu hal pesawat udara keluar runway. Kedua adalah runway incursion yaitu kecelakaan pesawat udara di runway ketikan sedang dalam tahapan pendaratan atau tinggal landas yang diakibatkan masuknya benda (mobil/orang ) kedalam runway tanpa ijin atau masuknya hewan ke runway tanpa diketahui oleh pengelola bandar udara.

Tulisan hanya akan membahas insiden "runway incursion", seperti yang terjadi di bandar udara Gorontalo.

Apa itu runway incursion?

Runway incursion
adalah setiap kehadiran secara tidak sah (tanpa izin) di runway, apakah itu pesawat udara, kendaraan atau orang atau hewan yang dapat berpotensi menjadi konflik pada pesawat udara yang telah diberi izin untuk landing, taking-off, atau sedang taxi di runway.

Dalam suatu kejadian runway incursion secara umum ada tiga unsur yang berkepentingan, operator pesawat udara (biasa kita sebut perusahaan penerbangan), aerodrome operator (biasa dikenal dengan pengelola bandar udara, dan penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan (biasa kita kenali sebagai otoritas ATC).

Kesiapan runway beserta marka navigasinya untuk di operasikan secara aman dan efisien pada umumnya menjadi tanggung jawab pengelola bandar udara. Termasuk didalamnya tanggung jawab menjaga agar tidak terjadi mobil atau orang yang tidak mempunyai ijin masuk ke runway. Bukan hanya itu pengelola bandar udara juga bertanggungjawab agar tidak terjadi hewan/ternak dapat memasuki runway.

Otoritas ATC dalam kaitan penggunaan untuk proses landing atau take-off harus menjamin bahwa pesawat udara dalam kaitan proses tersebut tidak akan tergganggu benda-benda disebutkan diatas. Pada tahapan tertentu otoritas ATC dapat membatalkan ijin landing atau take-off jika pada waktu yang tepat diketahui ada benda-benda tersebut berada di runway.

Penerbang sebagai orang yang mengoperasikan pesawat udara dapat segera membatalkan proses landing atau take-off apabila menurutnya bahwa dalam proses tersebut diketahui di runway ada benda atau apapun yang dapat membahayakan keselamatan operasi pesawat udara.

Pengawasan dan pencegahan masuknya pesawat udara, kendaraan, orang di runway dapat dilakukan dengan lebih mudah, misalnya memberi tanda-tanda larangan. Namun bagai mana dengan hewan (ternak)?.

International Civil Aviation Organization (ICAO) telah memberikan petunjuk kepada semua anggotanya bahwa runway yang dioperasikan untuk kepentingan penerbangan umum komersial (certified aerodrome) disekelilingnya harus diberi pagar (fencing) untuk mencegah hewan (ternak) masuk ke runway.

Ada empat kategori runway incusion

  • Kategori A adalah insiden serius di mana tabrakan itu hampir tidak dapat dihindari
  • Kategori B adalah sebuah insiden di mana berkurangnya separasi (separation decreases) dan ada potensi yang signifikan akan terjadi tabrakan, diakibatkan oleh waktu kritis untuk melakukan tindakan korektif / mengelak terjadinya tabrakan.
  • Kategori C adalah sebuah insiden yang ditandai dengan waktu yang cukup dan / atau jarak untuk menghindari tabrakan.
  • Kategori D adalah sebuah insiden yang memenuhi definisi runway incursion misalnya kehadiran kendaraan / orang / hewan / pesawat udara di permukaan pada kawasan yang lindungi yang ditujukan untuk landing dan take-off pesawat udara tetapi tidak langsung mengancam keselamatan.

Dimana dan kapan terjadinya runway incursions?

  • Runway incursions dapat terjadi pada setiap saat disemua aerodrome dan melibatkan semua jenis pesawat udara, kendaraan atau orang, maupun hewan.
  • Dalam keadaan cuaca yang cerah penerbang atau petugas air traffic control seringkali mampu mendeteksi secara visual gangguan kepada lalu lintas penerbangan (intruding traffic ) dan berinisiatif melakukan tindakan penghindaran yang tepat. Biasanya mampu untuk menghidarkan bencana, namun potensi itu tentu tetap ada.
  • Dalam keadaan cuaca buruk atau malam hari kemungkinan untuk dapat berhasil mendeteksi dan waktu untuk menghindarkan menjadi berkurang. Karena itu risiko bencana menjadi lebih tinggi pada setiap peristiwa. Misalnya,tabrakan di Tenerife Los Rodeo dan Milan Linate keduanya terjadi dalam keadaan berkabut, dimana tidak ada kesempatan bagi pilot yang bersangkutan untuk mengambil tindakan penghindaran.

Mengapa dapat terjadi runway incursions?

Ada banyak alasan mengapa terjadinya runway incursions, apabila membaca laporan kecelakaan pesawat udara banyak menyoroti dimana runway incursion merupakan salah satu faktor penyebab kecelakaan.

Terjadi runway incursions karena kegagalan manusia yang tak terelakkan dimana human factors engineering yang tidak dapat atau kurang mengatisipasi secara memadai.

Kegagalan ini dapat terjadi dalam banyak bentuk antara lain,

  • kurangnya pemahaman atas instruksi atau clearances karena kualitas komunikasi yang buruk atau adanya perbedaan budaya;
  • kebingungan yang disebabkan oleh ketidakjelasan atas instructions, markings, signage, lighting dan publikasi;
  • kerentanan terhadap saran yang disebabkan oleh faktor budaya atau komersial;
  • kehilangan situational awareness, dan
  • gangguan lingkungan kerja dan beban kerja yang berlebihan.

Peristiwa runway incursion di Indonesia

Peristiwa runway incursion juga terjadi di Indonesia yang mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara. Dari beberapa data yang terkumpul beberapa kali telah terjadi peristiwa runway incusion di Indonesia.

Sebagian besar peristiwa runway incusion melibatkan hewan yang masuk ke runway dan tidak dapat di indentifikasi dengan baik oleh air traffic controller maupun penerbang.

  • Pada tanggal 4 Januari 2005 malam hari, terjadi peristiwa pesawat udara jenis B 737 menabrak seekor sapi ketika melakukan pendaratan di aerodrome Sultan Iskandar Muda, Nanggro Aceh Darussalam yang mengakibatkan kerusakan berat pada roda pendaratnya;
  • Pada tanggal 15 April 2007 siang hari ada anjing yang masuk runway dimana ketika itu pesawat udara jenis B737 sedang dalam proses landing di aerodrome Juanda, Surabaya dan beruntung penerbang dapat mengambil tindakan penghidaran, sehingga tidak ada kerugian apapun;
  • Januari 2008 pesawat udara jenis Boeing 737-300 sekitar pukul 08.46 WIT menabrak seekor sapi saat mendarat di aerodrome Mopah, Merauke, mengakibatkan mesin pesawat sebelah kiri mengalami kerusakan.
  • Pada tanggal14 Juni 2009 pesawat udara jenis Dornier 328 mengalami kecelakaan pada aerodrome Sentani, Jayapura ketika berusaha menghindari anjing yang melintas di runway dan pesawat udara mengalami kerusakan;
  • Pada tanggal 19 April 2010, pesawat latih menabrak dua orang di runway aerodrome Budiarto, Curug, Tangerang;
  • Pada 14 September 2011 pukul 16.00 WIT pesawat udara jenis BE 146/200 hampir menabrak sapi ketika hendak mendarat di aerodrome Komodo Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
  • Pada tanggal 23 November 2011 pesawat udara jenis Cessna 208, mengalami kecelakaan ketika hendak mendarat tiba-tiba ada seorang anak kecil yang melintas di runway. Untuk menghindari tabrakan, spontan pilot menaikkan kembali pesawatnya, dan beberapa saat kemudian menabrak sebuah bukit di dekat aerodrome;
  • Pada tanggal 6 Agustus 2013 pesawat udara jenis B737 tergelincir di runway pada aerodrome Jalaludin, Gorontalo ketika melakukan pendaratan karena menabrak hewan (sapi) dan pesawat udara mengalami kerusakan.

Dari catatan peristiwa runway incursion di aerodrome Indonesia, sebagian besar diakibatkan hewan yang masuk runway dan lainnya karena manusia yang masuk ke runway. Selain mengakibatkan korban jiwa manusia juga mengakibatkan kerugian kerusakan pesawat udara. Hal itu berbeda dengan kejadian runway incursion di benua Eropa maupun Amerika yang diakibatkan oleh kendaraan atau bahkan pesawat udara memasuki runway tanpa otorisasi.

Mencegah terjadinya runway incursions

  • Pertama, pelajari materi referensi yang tersedia untuk mendapatkan ide dalam mengatasi permasalahan. Hyperlink kepada Circular ini adalah cara yang baik untuk memulai, dan mendapatkan bahan lain yang lebih besar yang disediakan oleh regulator penerbangan.
  • Perihal runway incursions harus mendapat perhatian yang serius dalam safety management system yang ada dalam organisasi pengelola aerodrome dan ANSP. Insiden runway incursions harus dipantau untuk masa tertentu untuk menentukan tingkat permasalahan. Setiap insiden runway incursions harus diselidiki untuk menentukan faktor penyebabnya. Setiap kecenderungan faktor penyebab perlu ditangani, dan hal itu paling baik dilakukan melalui safety management system.
  • Semua insiden runway incursions harus dilaporkan misalnya melalui sistim pelaporan wajib atas sebuah peristiwa. Laporan tersebut dapat berkontribusi terhadap statistik global dan penelitian terkait dengan runway incursions, yang pada gilirannya mengarah pada pengembangan secara internasional untuk penanggulangan yang terkoordinasi.
  • Membentuk Runway Safety Programme yang sesuai peruntukannya untuk mengurangi runway incursions. Pastikan bahwa rencana aksi melibatkan semua lembaga yang beroperasi di aerodrome, dan bahwa Runway Safety Programme dikelola oleh Tim Keselamatan Runway dibentuk dari multi-disiplin. Tim Keselamatan Runway dapat merupakan sebuah komite mandiri atau bagian dari komite keselamatan aerodrome yang sudah ada.
  • Pastikan bahwa selau dilakukan kampanye runway safety awareness disemua aerodrome.
  • Pastikan bahwa tim internal audit keselamatan diberi bertugas khusus untuk memastikan bahwa fasilitas aerodrome selalu sesuai dengan ICAO SARPS.

Penutup-Saran Pemikiran

Kita mengetahui bahwa telah beberapa kali terjadi peristiwa kecelakaan pesawat udara di Indonesia ketika pesawat melakukan proses pendaratan karena adanya hewan yang melintas di runway. Sebagian peristiwa tersebut karena aerodrome tidak memiliki pagar yang cukup untuk mencegah hewan melintas.

Pemerintah Indonesia melalui keputusan menteri perhubungan telah menerbitkan peraturan keselamatan penerbangan bahwa aerodrome yang dioperasionalkan secara komersial harus dilengkapi dengan pagar, namun dengan kejadian di aerodrome Jalaludin, Gorontalo telah menunjukan pada kita tingkatan kepatuhan mengikuti aturan yang ada.

Otoritas air traffic control perlu mempertimbangkan kembali dalam memberikan aerodrome control service pada aerodrome yang tidak atau belum dapat mematuhi semua ketentuan pengoperasian aerodrome yang sesuai aturan.

Operator pesawat udara (airlines) agar lebih teliti terhadap kesiapan pengelola aerodrome dalam mematuhi semua aturan keselamatan penerbangan, jika ditemukan kekurangan pemenuhan persyaratan keselamatan penerbangan terkait dengan pengoperasian aerodrome.

Pengelola bandar udara agar lebih meningkatkan kepatuhan dalam pengoperasian aerodrome sesuai dengan aturan keselamatan penerbangan yang ada. Berikan perhatian yang seimbang antara "kemegahan" terminal penumpang dengan keselamatan penerbangan diwilayah aerodrome.

Perlu segera dibentuk Tim Keselamatan Runway yang unsurnya terdiri dari asosiasi perusahaan penerbangan (domestik dan internasional), asosiasi penerbang, asosiasi air
traffic control dan asosiasi pengelola aerodrome. Dana kegiatan diupayakan dari asosiasi terkait agar dapat bergerak lebih independen serta bersifat profesional. (nm)

Selasa, 11 Juni 2013

SDM bidang penerbangan sipil

Penerbangan sipil di Indonesia

Penerbangan air sudah dikenal di Indonesia semanjak jaman penjajahan Belanda, pada waktu itu ada maskapai penerbangan sipil KNLM yang selanjutnya hingga kini dikenal dengan Garuda Indonesia. Disamping itu ada juga bandar udara di Biak, Kemayoran dan Bali.

Setelah kemerdekaan Indonesia dengan sendirinya semua yang sebelumnya "milik" Belanda menjadi milik Indonesia dan orang-orang Belanda yang selama itu mengurusi penerbangan sipil harus meninggalkan Indonesia.

Pada tahun 1950 Indonesia diterima menjadi anggota ICAO melalui penyataan proses "menundukan diri" (adherence). Pada tahun 1952 dibentuklah Djawatan Penerbangan Sipil yang bertanggungjawab kepada Kementerian Perhubungan Udara, tugas dan tanggung jawabnya adalah menangani administrasi pemerintahan, pengusahaan dan pembangunan bidang perhubungan udara.

Dari keadaan itulah Indonesia merasakan perlu segera mempunyai sumber daya manusia di bidang penerbangan sipil yang dapat mengisi kekosongan posisi yang ditinggalkan Belanda.

Untuk mencapai maksud tersebut maka didirikanlah Akademi Penerbangan Indonesia pada tahun 1952 di Kemayoran dan kira-kira pada tahun 1957 di pindahkan ke desa Curug Kabupaten Tangerang-Jawa Barat.

Akademi Penerbangan Indonesia dapat menghasilkan sumber daya manusia dalam bidang penerbang, teknisi perawatan pesawat udara, radio mechanic dan air traffic services.

Hingga tahun 1966-an sebagian besar lulusan pendidikan penerbang dan teknisi perawatan pesawat udara dari Akademi Penerbangan diserap oleh Perusahaan Negara Garuda Indonesia sedangkan lulusan pendidikan radio mechanic dan air traffic services bekerja di bandar-udara diseluruh tanah air sebagai pegawai negeri.

Penerbangan era 1970

Awal tahun 70-an dimulainya keterbukaan pada sistem transportasi udara, terutama dalam bidang penyedia jasa pengakutan (airlines). Pada tahun itu kita mengenal airlines swasta seperti Bouraq, Seulawah/Mandala, TransNasional, Sempati, Pelita dan beberapa airline lainnya yang melayani penerbangan berjadwal dan charter domestik selain dua Perusahaan Negara Garuda dan Merpati Nusantara.

Untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia airlines maka dicetaklah penerbang dan teknisi perawatan pesawat udara di Akademi Penerbangan Indonesia (kemudian bernama Lembaga Pendidikan Perhubungan Udara/LPPU). Sedangkan untuk penyediaan sumber daya manusia lulusan pendidikan radio mechanic dan ATS selain menjadi pengawai negeri ada juga yang menjadi pegawai perusahaan di lingkungan Perum. Angkasa Pura.

Sebagian besar sumber daya manusia yang berprofesi di perusahaan penerbangan bersatus bukan pegawai negeri sedangkan yang bekerja di bandar udara ada sebagian menjadi pegawai negeri dan sebagian menjadi pegawai perusahaan.

Hingga tahun 2013 ini masih banyak pegawai negeri Kementerian Perhubungan yang bekerja di organisasi PT Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II dengan status di perbantukan.

Pegawai negeri sipil Kementerian Perhubungan yang bekerja di bandar udara PT AP I dan PT AP II serta beberapa bandar udara yang dioperasikan oleh DJU disebut sebagai Teknisi Penerbangan.

Pendidikan penerbangan sipil

Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Perhubungan dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No.24 Tahun 2010 Pasal 339 yang salah satu fungsinya adalah pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia dibidang perhubungan.

Salah satu bentuk pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia dalam bidang perhubungan udara adalah di bentuknya Sekolah Tinggi
Penerbangan
Indonesia melalui Keputusan Presiden no.43 Tahun 2000.

Pasal 1 keputusan ini menyebutkan bahwa Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disingkat STPI sebagai perguruan tinggi kedinasan
di lingkungan Departemen Perhubungan yang berkedudukan di Curug, Tangerang.

Selain STPI, BPSDM/PPSDM membawahkan Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan berlokasi di Medan, Surabaya dan Makassar, mirip dengan STPI namun pendidikan hanya mencapai strata D-III. Pembentukan ATKP didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Perhubungan No.71 Tahun 2002, dan merupakan pendidikan kedinasan.

Seperti telah dijelaskan diatas bahwa lulusan STPI dan ATKP diserap oleh kalangan industri penerbangan sebagai pegawai perusahaan, walaupun disana-sini tetap ada yang menjadi pegawai negeri.

Dengan demikian boleh disimpulkan bahwa secara organisasi semua sekolah/ tempat pendidikan penerbangan yang dikelola oleh BPSDM/PPSDM Kementerian Perhubungan adalah merupakan pendidikan kedinasan sekalipun peserta didik dapat dari kalangan umum.

Sistim Pendidikan Nasional

Sistim pedidikan nasional di Indonesia dilaksanakan berdasarkan UU No.20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional. Disana antara lain diatur tentang lembaga pendidikan dan jalur pendidikan.

Terkait dengan pelaksanaan pendidikan kedinasan diatur melalui pasal 29 ayat (2) yang dituliskan "Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah non-departemen."

Berdasarkan pasal 29 ayat (4) pendidikan kedinasan kemudian diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Pendidikan Kedinasan.

Menurut PP pengertian Pendidikan Kedinasan adalah pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh Kementerian, kementerian lain, atau lembaga pemerintah non-kementerian yang berfungsi untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai negeri dan calon pegawai negeri.

Yang dapat mengikuti pendidikan kedinasan adalah pegawai negeri dan calon pegawai negeri yang diberi tugas atau izin oleh Kementerian, kementerian lain, atau lembaga pemerintah non-kementerian yang bersangkutan untuk mengikuti pendidikan kedinasan.

Program pendidikan kedinasan yang merupakan program pendidikan profesi setelah program sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV) dapat diselenggarakan di dalam dan/atau di luar satuan pendidikan yang ada pada Kementerian, kementerian lain, atau LPNK terkait, baik pada jalur pendidikan formal maupun pada jalur pendidikan nonformal.

Kembali kepada pendidikan sumber daya manusia penerbangan sipil bahwa pendidikan utama yang dilakukan oleh STPI sebenarnya adalah Penerbang, Kespen (ATC) dan Teknik Perawatan Pesawat Udara dan ATKP Kespen (ATC) dan Teknik Radio dan Teknik Perawatan Pesawat Udara, dan selanjutnya hasil pendidikan tersebut diserap oleh kalangan industri serta regulator.

Air Traffic Controller dan Teknisi CNS

Sebelum bulan September 2012, ATC dan Teknisi CNS yang mendapat pendidikan di STPI dan AKTP disalurkan ke PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II dan dapat menjadi pegawai perusahaan, namun demikian ada juga yang kemudian ditetapkan menjadi pegawai negeri baik sebagi teknisi penerbangan, maupun pengajar (instruktur).

Namun adakalanya ATC dan Teknisi CNS yang bekerja di kedua BUMN tersebut memiliki status PNS dan diperbantukan.

Dengan segala pertimbanganya pemerintah menerbitkan PP 77 Tahun 2012 Tentang Perum LPPNPI yang menjadi satu-satunya penyedia pelayanan navigasi penerbangan di Indonesia. Fungsi pemanduan, aset dan sumber daya manusia yang berkaitan dengan pelayanan navigasi penerbangan pada kedua BUMN tersebut dan bandar udara UPT Ditjenhubud diamalgasikan kedalam perum tersebut, mengacu pada pasal 2 ayat (2) huruf c dan d.

Mengacu pasal tersebut dapatlah disimpulkan bahwa semua ATC dan Teknisi CNS yang masih berstatus pegawai negeri selanjutnya akan diubah statusnya menjadi pegawai perum, dan tidak ada lagi ATC dan Teknisi CNS dengan status pegawai negeri.

Pertimbangan

Dari penjelasan diatas perlu difikirkan beberapa hal terkait dengan penyediaan sumber daya manusia penerbangan seperti, penerbang, teknisi perawatan pesawat udara, air traffic controller dan teknisi CNS, apakah hanya dan harus melalui STPI dan ATKP.

Jika mengacu pada PP No.14 Tahun 2010 Tentang Pendidikan Kedinasan, terutama pasal 24 ayat (1) huruf b angka 1), 2) dan 3) serta ayat (2) kemungkinan sumber daya manusia penerbangan tersebut diatas harus dapat bersumber dari lembaga pendidikan lain, karena pendidikan kedinasan hanya diperuntukan bagi pegawai negeri sipil atau calon pegawai negeri sipil. Apakah ketiga jenis pendidikan seperti dibicara pada tulisan ini dapat juga diselenggarakan oleh institusi pendidikan lain.

Sebenarnya Kementerian Perhubungan telah memberikan kesempatan kepada umum/swasta untuk menyelenggarakan pendidikan penerbangan melalui penerbitan Peraturan Menteri Perhubungan KM 57 Tahun 2010 Tentang PKPS Bagian 141, KM 13 Tahun 2009 Tentang PKPS Bagian 143, KM 24 Tahun 1997 Tentang PKPS Bagian 147.

Di Indonesia ada lebih dari sepuluh pilot school yang telah mendapai sertifikat penyelengaraan pendidikan penerbang – Indonesia PKPS Bagian 141 dan diharapkan dapat menghasilkan sekitar 400 hingga 500 penerbang dengan kwalifikasi CPL setiap tahun.

Untuk menghasilkan sumber daya manusia dalam bidang perawatan pesawat udara sudah ada empat lembaga pendidikan selain STPI dan ATKP yang telah mendapat sertifikat penyelenggara pendidikan – Indonesia PKPS Bagian 147.

Pendidikan ATC untuk memenuhi kebutuhan Ditjenhubud, PT AP I dan PT AP II disediakan oleh STPI dan ATKP, belum ada lembaga pendidikan lain yang mendapatkan ijin penyelenggaraan sesuai dengan Indonesia PKPS Bagian 143. Namun dengan terbitnya PP 14 Tahun 2010 diharapkan LPPNPI dapat menyelenggarakan pendidikan sendiri.

Masa Depan

Bagaimanakah masa depan pendidikan yang hingga hari ini dilakukan oleh STPI dan ATKP?

Dasar hukum berdirinya STPI adalah Keputusan Presiden No.43 Tahun 2000 tentang Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia, sementara untuk ATKP melalui Keputusan Menteri Perhubungan No.71 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja ATKP. Pada kedua surat keputusan itu disebutkan bahwa jenis pedidikan yang dilaksanakan pada kedua lembaga pendidikan tersebut adalah pendidikan kedinasan yang sumber dananya adalah APBN.

Selanjutnya mengacu kepada Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 2010 Tentang Pendidikan Kedinasan disebutkan bahwa pendidikan kedinasan hanya diselenggaran bagi pegawai negeri atau calon pegawai negeri yang bekerja di kementerian atau lembaga negara non-kementerian dan peserta didiknya memiliki tingkat pendidikan Sarjana S-1 atau Diploma IV (D-IV).

Sudah diketahui bahwa sasaran peserta pendidikan pelatihan yang diselenggarakan oleh STPI dan ATKP adalah seseorang yang minimum mempunyai pendidikan sekolah menengah umun dan hasil pendidikan sebagian besar disalurkan kepada maskapai penerbangan, penyelenggara bandar udara dan penyenggara pelayanan navigasi penerbangan yang bukan lembaga pemerintah (kementerian).

Dengan adanya PP No.14 Tahun 2010 tentang Pendidikan Kedinasan, maka posisi lembaga pendidikan dan pelatihan STPI dan ATKP serta lainnya perlu di kaji kembali.

Ada tiga pilihan yang mungkin dapat dipertimbangkan

  1. pendidikan kedinasan yang bersangkutan dialihstatuskan menjadi badan hukum pendidikan, yang kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan sebagai pendiri memiliki representasi dalam organ representasi pemangku kepentingan, untuk memenuhi kebutuhan sektoral yang berkelanjutan dan memerlukan pengawasan dan penjaminan mutu yang ketat dari kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan;
  2. pendidikan kedinasan yang bersangkutan diintegrasikan dengan perguruan tinggi negeri tertentu dan setelah integrasi diadakan kerja sama dengan kemasan khusus untuk memenuhi kebutuhan sektoral yang bersifat temporer dan memerlukan pengawasan dan penjaminan mutu yang ketat dari kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan;
  3. pendidikan kedinasan yang bersangkutan diintegrasikan dengan perguruan tinggi negeri tertentu atau diserahkan kepada pemerintah daerah jika kebutuhan akan pengawasan dan penjaminan mutu yang ketat dari kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan rendah.

Terakhir, mengacu kepada peraturan pemerintah bahwa pendidikan kedinasan (seperti STPI dan ATKP) perlu disesuaikan bentuk kelembagaanya paling lambat hingga tahun 2015.(NM)